GOOGLING..!

Minggu, 11 Maret 2012

Integrasi Pertanian Bogowonto Purworejo

Mengubah perilaku yang telah mengakar tertanam bertahun-tahun memang tak mudah. Dalam semesta pembicaraan penerapan pengelolaan lahan pertanian SRI Organik, salah satunya bahwa sulit mengubah budaya petani untuk beralih menggunakan pupuk organik. Petani beranggapan, hasil panen padi organik lebih rendah daripada tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Padahal, pertanian dengan SRI bisa meningkatkan produksi padi, hingga delapan hingga sembilan ton gabah setiap hektare. "Selama menerapkan standar operasional SRI, yakni tujuh ton pupuk organik setiap hektare sawah, maka hasilnya akan maksimal," terangnya.

Pertanian dengan SRI memanfaatkan potensi organik yang terdapat di lingkungan kelompok tani. Petani membuat pupuk organik, pupuk cair, serta pestisida secara mandiri. Petani menggunakan material organik sejak pengolahan tanah hingga panen padi. Selain kotoran sapi, petani juga bisa menggunakan potensi lain seperti dedaunan, jerami, atau sampah rumah tangga untuk membuat pupuk organik.

Berikut liputan beberapa media tentang keterintegrasian dalam SRI Organik.. :)



itoday - Kabupaten Purworejo merupakan daerah agraris, sebagai daerah penyangga beras wilayah kedua bagian selatan. Hamparan sawah yang luas, menghasilkan limbah pertanian, khususnya jerami. Tingginya limbah jerami, ternyata belum termanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Bidang Peternakan pada Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purworejo, Drs Riyanto, ketika ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Dikemukakan bahwa produksi jerami kering sekitar 281.240 ton pertahun, atau setara 319.488,64 satuan ternak (ST). Dari jumlah itu, baru termanfaatkan untuk pakan ternak sapi sebesar 5,7 % saja. Sedangkan untuk ternak lain, seperti kambing domba, kerbau 14%.

Agar lebih terintegrasi dalam pemanfaatan jerami, Pemerintah Kabupaten Purworejo mendorong petani untuk mengembangkan ternak sapi potong. Jenis yang dikembangkan sapi Peranakan Onggol (PO). Sapi jenis ini dinilai lebih mudah perawatannya, karena lebih tahan terhadap serangan penyakit, mudah adaptif dengan lingkungan.

Di samping itu, pengembangan ternak sapi potong dimaksudkan untuk memenuhi masyarakat terhadap kebutuhan protein hewani. Dari kebutuhan protein hewani 15 kg perkapita per tahun, baru tercukupi 8,4 kg perkapita per tahun (60% nya). Sementara produksi daging sapi Purworejo tahun 2009 sebesar 438.375 kg per tahun. Tahun 2010 meningkat menjadi 503.160 kg per tahun. Jumlah ternak sapi di Purworejo 2009 sebanyak 17.388 ekor. Tahun 2010 sebanyak 18.083 ekor.

Pemerintah kabupaten memeta-metakan daerah setra peternakan sapi. Untuk daerah selatan mulai dari Kecamatan Bagelen, Purwodadi, Ngombol, hingga Grabag sebagai sentra pembibitan.

Daerah tengah seperti kecamatan Banyuurip, Bayan, Purworejo dan sekitarnya sebagai sentra penggemukan. Sedangkan daerah utama (wilayah perbukitan) kendati banyak dijumpai ternak sapi, namun lebih ditekankan sebagai sentra pengembangan ternak kambing.

Untuk mengembangkan peternakan sapi, disamping swadaya oleh petani, pemerintah mendorong melalui beberapa program. Diantaranya melalui kredit ketahanan pangan dan energi (KPPE), melalui lembaga perbankan. Besarnya pinjaman maksimal Rp 500 juta untuk satu kelompok, dengan 10 anggota. Bunganya 6% per tahun. Kemitraan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), misalnya dengan PT Jamsostek dan Jasa Raharja. Besarnya pinjaman maksimal Rp 100 juta per kelompok, dengan 10 anggota. Besarnya bunga 3% per tahun.

Juga bantuan dari pemerintah pusat dan propinsi. Ia mencontohkan, untuk mendukung program Sistem Rice Intensification (SRI), pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian memberikan bantuan sapi kepada beberapa kelompok tani di Purworejo.

Kendati muaranya bantuan itu dimaksudkan untuk diambil kotorannya sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, namun juga tidak mengesampingkan upaya pengembangan ternak. Hal itu dapat dilihat dari jenis bantuannya berupa sapi betina.

Kendala yang dihadapi saat ini, menurutnya, turunnya harga sapi. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan kebijakan pemerintah, melakukan impor sapi.

“Di satu sisi kita mendorong petani untuk mengembangkan ternak sapi, namun ketika sapi akan dijual harga anjlog. Akhirnya petani kurang bergairah untuk berternak sapi. Namun karena ini kebijakan pemerintah pusat, kita tidak bisa menolak”. katanya.(Bangkit Wardoyo)