GOOGLING..!

Selasa, 06 Maret 2012

Menikmati Biodiesel Nyamplung Purworejo

Tanggal 05-07/03/12 tampaknya akan membuat sebagian warga Purworejo berbangga hati. Setidaknya dari respon para 'pekicau' yang sempat menyatakan kebanggaannya, atas keberhasilan yang dicapai dalam aktivitas road test. Berikut tulisan-tulisan tentang aktivitas road test biodiesel nyamplung. Mari kita nikmati.. :)


Untuk mempromosikan hasil biofuel (biodiesel) nyamplung sebagai energi alternatif, Pemkab Purworejo mengadakan road test. Road test selama tiga hari mulai 5 hingga 7 Maret 2012, diberangkatkan oleh Sekda Purworejo Drs Tri Handoyo MM, Senin (5/2) di depan pendopo kabupaten. Road test diikuti tujuh unit mobil diesel. Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, memimpin rombongan, dikuti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo, Perum Perhutani KKPH Kedu Selatan, CV Cahaya Katulistiwa dan BPDAS SOP Yogyakarta

Road test akan menempuh jarak sekitar 750 hingga 1.000 kilometer, mulai dari Purworejo menuju Kebumen, Cilacap, Purwokerto, hingga Semarang. Di Semarang rencananya akan bertemu Gubernur Jawa Tengah untuk melakukan presentasi.

Perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Gunung Kidul, kemudian akan diterima oleh Sri Sultan Hamengkubowono atau yang mewakili di Dalem Kepatihan. Dari keraton, rombongan meneruskan perjalanan menuju Kabupaten Kulon Progo dan kembali ke Purworejo.

Biofuel nyamplung yang digunakan untuk road test, merupakan produksi mesin bantuan Menteri Kehutanan pada tahun 2009. Mesin tersebut hanya beroperasi selama kurang lebih 3 bulan, karena banyaknya permasalahan yang muncul terhadap spesifikasi mesin. Melalui berbagai upaya dan kerjasama dengan pihak ketiga, akhirnya mesin tersebut bisa beroperasi kembali.


KEBUMEN, KOMPAS.com — Tim uji coba nyamplung (Calophyllum inophyllum L) sebagai bahan bakar biodiesel, yang sedang menjalani tes perjalanan di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, Senin (5/3/2012), sampai di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Rombongan yang dipimpin Bupati Purworejo H Mahsun Zain itu diterima Bupati Kebumen Buyar Winarso.

Tes perjalanan sepanjang 500 kilometer tersebut melintasi Jawa Tengah-Yogyakarta pada 5-7 Maret 2012 dengan rute Purworejo-Semarang melewati Kebumen-Cilacap-Banyumas-Purbalingga-Banjarnegara-Temanggung-Semarang. Selanjutnya Semarang-Yogyakarta, yaitu Gunung Kidul-Kulon Progo-Bantul-Purworejo. Dari sekitar 7 mobil, dua di antaranya menggunakan biodiesel nyamplung.

Mahsun Zain berharap tes tersebut akan semakin mempromosikan penggunaan bahan bakar biodiesel nyamplung di kalangan masyarakat. Terlebih, bahan bakar tersebut relatif lebih ramah lingkungan karena kandungan emisinya yang rendah.

”Pengembangan bahan bakar biodiesel nyamplung merupakan salah satu program pemerintah Indonesia dalam menyikapi kelangkaan energi di masa yang akan datang dengan program Desa Mandiri Energi,” jelasnya.

Untuk mendukung program tersebut, menurut Mahsun, pemerintah sebenarnya telah memberi bantuan berupa peralatan-peralatan. Namun, diakui, saat ini banyak yang tidak beroperasi lagi. Dari hasil evaluasi ditemukan kelemahan atau kekurangan dari unit-unit pabrik energi terbarukan yang dibangun pemerintah. Beberapa komponen bahkan tidak memenuhi standar sehingga hasil dan kualitasnya masih sangat rendah.

”Biaya produksi juga masih terlalu tinggi. Saat ini kami bekerja sama dengan BPDAS Serayu-Opak Progo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Purworejo, Perhutani Kedu Selatan, dan CV Cahaya Katulistiwa untuk merevitalisasi mesin produksi pengolah buah nyamplung tersebut,” kata Mahsun.


PURWOREJO, KOMPAS.com — Tahun ini Kabupaten Purworejo menargetkan setiap bulan akan memproduksi 6.000 liter biodiesel nyamplung. Biodiesel yang dihasilkan dari tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L) ini kelak dipasarkan kepada masyarakat luas sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar.

Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo Argo Prasetyo mengemukakan, target produksi tersebut dapat tercapai dari hasil panen 100 hektar tanaman nyamplung dari lahan milik Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan dan 50 hektar tanaman nyamplung dari hutan rakyat. Jumlah tanaman dari areal tersebut berkisar 130.000 batang.

”Agar produksi benar-benar optimal dan target produksi dapat tercapai, kami pun terus berupaya menambah jumlah tanaman,” kata Argo, Senin (5/3/2012) di Purworejo.

Satu batang pohon nyamplung yang berusia enam hingga tujuh tahun bisa menghasilkan 12 kg minyak nyamplung, sedangkan yang berusia di atas 10 tahun bisa menghasilkan sedikitnya 100 kg per batang.

Umur pohon nyamplung yang ditanam di lahan Perhutani dan hutan rakyat cukup bervariasi, sebagian ada yang berusia enam hingga tujuh tahun dan sebagian lainnya bahkan ada yang berusia tua hingga 30 tahun.

Produksi biodiesel nyamplung, menurut Argo, akan dimulai bulan ini di unit pengolah biodiesel nyamplung yang berada di Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag. Sebelumnya, unit pengolah biodiesel nyamplung yang didirikan Kementerian Kehutanan pada tahun 2009 ini tidak beroperasi selama tiga tahun. Belakangan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu Opak, Pemerintah Kabupaten Purworejo, Perhutani KPH Kedu Selatan, bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Relung dan CV Cahaya Khatulistiwa merevitalisasi pabrik dan akhirnya memulai kembali produksi biodiesel nyamplung pada tahun 2012 dengan produksi awal sekitar 1.000 liter.

Biodiesel nyamplung tersebut akan dijual dengan harga Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter. Selama tiga hingga enam bulan pertama, seluruh minyak nyamplung yang dihasilkan akan dibeli oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Setelah itu akan didistribusikan ke pasaran umum.

Senin (5/3/2012), Pemerintah Kabupaten Purworejo bersama dengan Perhutani dan Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo melakukan road test, menguji coba tiga mobil berbahan bakar biodiesel nyamplung di jalan. Uji coba tersebut akan menempuh jarak 750 kilometer dari Purworejo menuju Kebumen-Cilacap-Wonosobo-Temanggung-Semarang-Yogyakarta yang akan berakhir Rabu (7/3/2012).

Dari uji coba yang telah berlangsung selama setengah hari, Argo mengatakan, bahan bakar nyamplung terbukti lebih irit dibanding solar. Jika biasanya satu liter solar dapat dipakai untuk menempuh 10 kilometer perjalanan, satu liter biodiesel nyamplung dapat menempuh 12 kilometer perjalanan. Selain itu, biodiesel nyamplung yang berwarna lebih jernih, berdasarkan sejumlah referensi, dapat membuat proses pembakaran dalam mesin berlangsung lebih baik.

Bupati Purworejo Mahsun Zain mengatakan, jika dari road test ini diketahui bahwa biodiesel nyamplung lebih baik dibandingkan solar, dia pun akan berinisiatif memakai biodiesel nyamplung sebagai bahan bakar untuk di perusahaan daerah, seperti PDAM.


TEMPO.CO, Kebumen – Mangkraknya proyek pengolahan buah nyamplung menjadi minyak biodiesel ramah lingkungan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, disebabkan rendahnya harga jual buah itu ke pengolahan minyak. Selain itu, teknologi pembuat minyak bantuan dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dinilai tidak tepat.

“Teknologi pemecah buah nyamplung tidak sempurna sehingga buah yang dipecah tidak halus,” kata Sekretaris Dinas Kehutanan Kabupaten Kebumen, Sutarno, saat dihubungi Tempo, Selasa, 6 Maret 2012.

Sutarno mengatakan petani nyamplung enggan menjual produknya ke tempat produksi karena satu kilogram nyamplung hanya dibeli Rp 1.000. Ia berharap pemerintah bisa memberikan subsidi agar buah nyamplung bisa dibeli dengan harga Rp 2.000 per kilogram.

Dengan harga Rp 2.000 per kilogram, kata dia, petani sudah mendapatkan untung, terutama untuk transportasi ke tempat pengolahan. Selama ini petani hanya membiarkan tanaman nyamplung berbuah tanpa dipetik hasilnya.

Ia menyebutkan mesin pengolahan nyamplung di Kebumen terletak di Desa Tegalratna, Kecamatan Petanahan, Kebumen. Mesin itu berada di sana sejak 2009, namun gagal digunakan karena tidak bisa memisahkan antara kulit nyamplung dan isinya.

Sutarno melanjutkan, di Kebumen saat ini sudah ditanam sekitar 50 ribu pohon nyamplung. Pohon sebanyak itu bisa menghasilkan sekitar 300 ton minyak biodiesel setiap tahunnya. “Kalau dibandingkan Purworejo, produksi nyamplung di Kebumen sebenarnya hasilnya lebih tinggi,” katanya.

Ia menjelaskan petani nyamplung tersebar di tujuh kecamatan di Kebumen, membentang di pesisir selatan daerah itu. Sutarno berharap pemerintah pusat mempunyai keinginan politik yang kuat agar proyek energi terbarukan itu bisa diselamatkan.

Sebelumnya, Bupati Purworejo Mahsun Zain, Senin kemarin, melakukan perjalanan atau road test biodiesel nyamplung Yogyakarta-Jawa Tengah. Rombongan sempat singgah di Kebumen dan diterima oleh Bupati Kebumen Buyar Winarso. “Kami berharap, ke depan, ada kerja sama antara dua kabupaten karena produksi buah nyamplung di sini cukup banyak,” katanya.

Ia menyebutkan unit pabrik energi terbarukan yang dibangun pemerintah pusat di Kebumen saat ini mangkrak. Bahkan beberapa komponen tidak memenuhi standar sehingga hasil dan kualitas olahannya masih sangat rendah. Mangkraknya mesin juga dipicu oleh biaya produksi yang masih terlalu tinggi. [ARIS ANDRIANTO]


PURWOREJO (KRjogja.com) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purworejo melakukan ujicoba penggunaan biofuel berbahan biji nyamplung keliling sejumlah kota di Jawa Tengah dan DIY, Senin - Rabu (5-7/3). Tiga mobil diesel akan menghabiskan kurang lebih 600 liter bahan bakar nabati pengganti solar itu untuk menggerakkan mesin selama perjalanan.

Mobil akan melalui rute Purworejo - Kebumen - Cilacap - Semarang - Salatiga - Gunungkidul - Yogyakarta - Bantul - Kulonprogo dan kembali ke Purworejo. Beberapa daerah pesisir menjadi tujuan ujicoba karena berpotensi sebagai penghasil biji nyamplung.

"Selain itu, tim juga akan mengadakan audiensi dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo serta Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X," tutur Ir Argo Prasetyo, Kabid Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Purworejo, kepada KRjogja.com, Senin (5/3).

Ujicoba tersebut merupakan kelanjutan program pemerintah dalam mengembangkan minyak bakar berbahan biji nyamplung di Desa Patutrejo Kecamatan Grabag. Pemkab memfasilitasi kerjasama dengan CV Cahaya Khatulistiwa di Yogyakarta yang juga bergerak di bidang usaha itu untuk memodifikasi mesin.

Bahkan, setelah aktivitas produksi kembali berjalan, instalasi DME mampu memproduksi kurang lebih 6.000 liter biofuel setiap bulan. Harga jual minyak tersebut diperkirakan antara Rp 8.500 - Rp 9.000 perliter atau sama dengan harga solar nonsubsidi produksi Pertamina.

Sementara itu, Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg menuturkan, biofuel merupakan alternatif yang bisa dipakai masyarakat atau pemerintah untuk mengantisipasi terus melonjaknya harga minyak dunia. Potensi bahan baku yang melimpah di Kabupaten Purworejo belum dimanfaatkan seluruhnya. (Jas)


PURWOREJO (KRjogja.com) - Desa Mandiri Energi (DME) Patutrejo Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo mampu memproduksi 6.000 liter biofuel biji nyamplung dalam sebulan. Hasil produksinya akan difokuskan untuk pasar industri dan penelitian.

Ketua Unit Produksi DME Patutrejo Barino mengatakan, instalasi di desanya sudah mulai beroperasi setelah beberapa kerusakan dan alat yang tidak efisien diperbaiki. "Kami difasilitasi pemerintah dan bekerjasama dengan CV Cahaya Khatulistiwa di Yogyakarta. Perusahaan itu membantu kami
mengoperasikan mesin agar produksinya optimal," ucapnya kepada KRjogja.com, Rabu (7/3).

Pasca perbaikan, instalasi tersebut mampu menghasilkan kurang lebih 200 liter biofuel setiap hari. Mesin bisa menyuling kurang lebih 800 kilogram biji nyamplung kering setiap hari.

Harga jual minyak tersebut diperkirakan antara Rp 8.500 - Rp 9.000 perliter atau sama dengan harga solar nonsubsidi produksi Pertamina.

"Harganya juga sudah bisa terjangkau karena produksi efisien. Bahkan, kami sudah mendapat kontrak untuk memasok biodiesel untuk kebutuhan Puslitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan selama enam bulan," terangnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Purworejo Ir Dri Sumarno menambahkan, berdasar harga, biofuel layak untuk bersaing dengan solar nonsubsidi yang dijual untuk pangsa pasar industri.

Namun, minyak tersebut belum bisa dinikmati masyarakat untuk kendaraan karena lebih mahal daripada solar bersubsidi, kecuali pemerintah mencabut subdisinya. "Pasar masih terus dijajaki, yang jelas, produk buatan Patutrejo sudah layak bersaing dengan solar yang sudah ada," tegasnya. (Jas)


CILACAP (KRjogja.com) - Bupati Purworejo Mahsun Zain melakukan "road test" (tes perjalanan) kendaraan berbahan bakar biodiesel nyamplung dengan rute Purworejo-Cilacap-Semarang Jawa Tengah.

Saat singgah di Cilacap, Mahsun Zain mengatakan, biodiesel nyamplung merupakan salah satu energi alternatif yang dapat dimanfaatkan di tengah kekhawatiran terhadap kelangkaan bahan bakar gas dan minyak.

"Kalau kita terus mengandalkan minyak bumi, nanti lama-lama bisa habis sehingga perlu energi alternatif seperti nyamplung dan jarak. Saat ini Purworejo uji coba produksi (biodiesel nyamplung), belum dijual ke pasaran. Nanti hasil produksinya, enam bulan ke depan akan dibeli Puslitbang Kementerian Kehutanan," katanya, Senin (5/3).

Setelah enam bulan, kata dia, pihaknya akan menjual biodiesel nyamplung ini kepada perusahaan-perusahaan di Purworejo.

Dia mengakui, harga biodiesel nyamplung ini lebih tinggi dibanding solar produksi Pertamina karena bahan bakar alternatif tersebut termasuk bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi.

"Nanti kita mampu menjual di bawah harga Pertamina. Nanti perusahaan-perusahaan di Purworejo kita wajibkan untuk memakainya. Orientasi pasarnya perusahaan-perusahaan karena nonsubsidi," katanya.

Karena itu, kata dia, pihaknya melakukan uji coba terhadap biodiesel nyamplung tersebut.

"Hari ini kita uji coba, berhasil atau tidak. Mobil yang saya pakai biasanya 1:10 (satu liter solar untuk 10 kilometer), tadi dicoba (menggunakan biodiesel nyamplung) 1:12. Sampai Cilacap masih berhasil, nanti sampai Semarang, saya tidak tahu," katanya.

Mengenai pengembangan biodiesel nyamplung ini, Mahsun mengatakan, hal itu berawal dari peluncuran demonstrasi plot (demplot) mandiri energi oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Purworejo pada akhir 2009.

Dalam hal ini, kata dia, pihaknya mengelola tanaman nyamplung untuk diolah menjadi biodiesel sebagai pengganti solar.

"Potensi nyamplung di Purworejo banyak sekali, sekarang ada 100 hektare siap dipetik untuk dijadikan biodiesel," katanya.

Secara terpisah, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dinhutbun) Cilacap Sudjiman mengatakan, kabupaten ini juga terus mengembangkan tanaman nyamplung di Kecamatan Adipala, Binangun dan Nusawungu dengan jumlah tanaman yang dikembangkan warga sebanyak 59.958 batang, sedangkan yang ditanam pada lokasi pembuatan hutan pantai sebanyak 148.222 batang.

Dia mengakui produksi nyamplung di Kabupaten Cilacap belum sebesar Purworejo karena baru menghasilkan sekitar 10-20 ton per tahun.

"Kalau di Purworejo potensinya sudah 100 hektare sehingga minyak yang dihasilkan diujicobakan ke sini (Cilacap)," katanya.

Data yang dihimpun, produksi biodiesel nyamplung di Purworejo mencapai 6.000 liter per bulan dengan bahan baku nyamplung sebanyak 24 ton dan harga jual biodiesel Rp8.500,- per liter. (Ant/Yan)


SEMARANG- Gubernur Jateng Bibit Waluyo memberi apresiasi terhadap kreativitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Lestari, Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag, Purworejo. Mereka berhasil memproduksi dan mengembangkan bahan bakar biodiesel berbahan baku biji nyamplung.

Bibit mengatakan itu ketika menerima rombongan road test biodiesel nyamplung di halaman kantor gubernur, Semarang, Selasa (6/3) pagi. Sekitar 35 peserta uji coba yang dipimpin Bupati Purworejo Mahsun Zain menggunakan delapan mobil, berkunjung ke kantor gubernur untuk memperkenalkan bahan bakar alternatif tersebut.

Dalam kesempatan itu, Bibit didampingi Kepala Dinas Kehutanan Jateng Sri Puryono serta sejumlah pejabat terkait.
Gubernur awalnya menanyakan hasil uji coba dari Purworejo-Cilacap-Semarang. Setelah mendapat penjelasan bahwa uji coba menunjukkan hasil yang hemat dan pembakaran mesin mobil bagus, dia tertarik. Gubernur menyempatkan diri beberapa kali mengemudikan mobil berbahan bakar biodisel nyamplung berkeliling halaman kantor.
Dia pun mendukung pengolahan nyamplung menjadi bahan bakar. Apalagi karena tanaman nyamplung banyak tumbuh di pesisir.

Ekonomi Rakyat

Gubernur berharap daerah-daerah yang punya potensi memberdayakan pohon nyamplung. Tak hanya di Purworejo, tetapi juga wilayah lain seperti Karimunjawa. Dengan pemberdayaan masyarakat pesisir lewat penanaman pohon nyamplung, diharapkan bisa menumbuhkan ekonomi kerakyatan.
’’Ide untuk menginovasi nyamplung menjadi bahan bakar sangat bermanfaat. Ini bisa membantu perekonomian rakyat wilayah pesisir atau hutan yang tidak produktif,’’ kata Bibit.
Bahan baku alternatif pengganti solar ini, lanjut Bibit, mudah dikembangkan. Satu kilogram nyamplung basah biasanya dijual sekitar Rp 750/kg.

’’Silakan dikembangkan tapi jangan sampai merusak atau menggusur tanaman pangan lain.’’
Namun Bibit meminta uji coba diselesaikan dulu. Dia ingin bukti biodiesel nyamplung memang baik, minimal setara dengan solar. ’’Kalau memang baik, mengapa tidak diproduksi secara berkelanjutan,’’ katanya.
Sementara itu, Direktur CV Cahaya Khatulistiwa Bantul, Akhmad Arif Fahmi, yang ikut terlibat dalam pengolahan minyak nyamplung, memaparkan, saat ini kapasitas mesin produksi CV Cahaya adalah 200 liter/hari. Namun karena produksi dilakukan hanya delapan jam, per hari baru dihasilkan 100 liter. Dengan produksi 100 liter/hari belum ada laba, baru cukup untuk biaya produksi dan operasional.

Administratur Perhutani KPH Kedu Selatan, Agus Priantono, merasa tertantang. Lahan hutan nyamplung yang saat ini baru seluas 132 hektare, akan dikembangkan sampai 500 ha. Upaya itu untuk mencukupi kebutuhan pengolahan nyamplung menjadi biodiesel.

Uji coba hari kedua kemarin, rombongan berangkat dari Semarang sekitar pukul 10.00. Mereka menuju Kabupaten Gunungkidul melalui Salatiga, Kartasura, Klaten, dan Prambanan. Menurut rencana Rabu pagi ini rombongan diterima Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. (yon,J17,J14-43)


JOGJA—Tanaman nyamplung yang banyak tumbuh di pinggiran sungai dan pantai ternyata mampu menghasilkan minyak nabati untuk biodiesel. Sayang, di Jogja potensi ini belum banyak dimanfaatkan.

Enam kilo buah nyamplung basah setelah diuji coba dapat menghasilkan satu liter biodiesel lewat proses kimia. Minyak nabati ini juga dapat dikonversi menjadi minyak tanah atau biokerosin dengan teknologi sederhana. Diperhitungkan 300 ton buah nyamplung bisa menyuplai 50 ton minyak mentah setahun.

Potensi tersebut dipaparkan tim dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo saat mensosialisasikan potensi dan proses pengolahan buah nyamplung ke pemerintah DIY, Rabu (7/3).

Kabid Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Purworejo, Agro Prasetyo mengatakan, buah nyamplung sebagai bahan energi alternatif di tengah krisis minyak dunia dan melonjaknya harga BBM. Harga minyak dari tanaman ini menurutnya cukup bersaing di pasaran meski menggunakan harga non subsidi. Satu liter biodiesel ini disetarakan dengan solar non subsidi sekitar Rp8.500-Rp9.000 per liter.

“Harganya cukup bersaing untuk minyak non subsidi,” ujarnya.

Sosialisasi produksi biodiesel tersebut dilakukan di sejumlah daerah terdekat seperti Jogja, Gunungkidul, Bantul (DIY), Semarang, Kebumen, Cilacap dan Kartasura (Jawa Tengah).

Terpisah, Kepala Dinas Kehutanan DIY, Ahmad Dawam mengatakan, potensi nyamplung sangat strategis di tengah kenaikan harga BBM saat ini. Hanya saja di DIY belum ada program khusus pengembangan minyak nabati ini. Bahkan Dinas Kehutanan pun belum tahu persis seberapa besar potensi nyamplung yang ada di Jogja. (ali)


Kamis, 8 Maret 2012
YOGYAKARTA (Suara Karya): Dirjen Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, Harry Santoso menilai, pemanfaatan bahan bakar biodiesel dari biji nyamplung perlu terus disosialisasikan. Ini mengingat hasil olahan biji nyamplung sebagai pengganti solar sudah lolos standardisasi nasional maupun standardisasi American Society for Testing and Materials. "Selain sebagai biodiesel, bisa juga untuk biokerosin atau pengganti minyak tanah," kata Harry Santoso di Yogyakarta, Selasa (6/3).

Untuk itu, lanjutnya, tahapan pengembangan pembibitan serta penambahan areal tanam nyamplung harus ditingkatkan. Ini dimaksudkan guna memenuhi permintaan pengolahan sebagai bahan bakar alternatif di saat harga solar mahal. Menurutnya, kini ada 480.000 hektare lahan yang ditanami pohon nyamplung dari Sumatera, Jawa, hingga Papua.

Terkait kualitas hasil buah nyamplung, terbaik di Pulau Jawa ada, tepatnya Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Namun, secara umum kualitasnya masih kalah dengan produksi di luar Jawa. "Kalau mau produksi minyak nyamplung untuk biodiesel, butuh investor. Endorsmen dari Pertamina saya kira bisa," kata Harry.

Dia menambahkan, selain untuk bahan bakar, ada produk sampingan lain, yaitu untuk bahan sabun, cokelat putih yang bisa memberi nilai tambah produk.

Sementara itu, Kepala Badan Litbang Kehutanan Amir Wardana menjelaskan, mengingat produk nyamplung sudah mendapatkan paten, maka yang penting adalah bagaimana langkah memproduksi secara massal minyak nyamplung dengan skala industri. "Sudah waktunya ada kebun bibit agar nyamplung bisa dibudidayakan. Butuh kelompok tani yang mendapatkan dukungan dari investor," ujarnya.

Menurut dia, satu proyek percontohan yang ada, yaitu di Patutrejo, Grabag, Kabupaten Purworejo, dengan pemasangan infrastruktur instalasi pengolahan biodiesel untuk olah biji nyamplung. Hanya saja, realisasi produksi alat-alat yang dimulai tahun 2008 silam itu sudah tidak beroperasi lagi pada 2010.

Atas kondisi tersebut, Bidang Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo menggandeng LSM Relung dan CV Cahaya Khatulistiwa untuk bisa mengadopsi mesin pengolah biji nyamplung dari Bantul yang mampu produksi hingga 120-200 liter per hari.

Panas Bumi

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jateng Sri Puryono memastikan eksplorasi energi panas bumi (geotermal) di Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang, segera dimulai. Saat ini, pihak investor hanya tinggal menunggu izin prinsip. Saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah menyerahkan seluruh kelengkapan dokumen administrasi ke Kementerian Kehutanan.

"Gubernur Bibit Waluyo juga sudah melayangkan rekomendasi atas investasi senilai Rp 3,1 triliun tersebut. Bahkan, sepekan lalu pengembang sudah mengurus izin prinsip dan saat ini tinggal menunggu izin tersebut keluar dari Menteri Kehutanan," katanya.

Sejauh ini pengembang geotermal PT Giri Indah Sejahtera sudah menyiapkan lahan pengganti seluas 2 hektare lebih. Lahan itu terletak di sekitar Gunung Ungaran. Lahan untuk tukar guling tersebut diklarifikasi bersama-sama dengan Perum Perhutani unit 1 Jateng. Semua sudah memenuhi syarat karena berhimpitan langsung dengan lahan perhutani dan juga terdapat daerah aliran sungai.

Menurutnya, jika izin prinsip turun, maka akan dilakukan serah terima dari pengembang kepada perhutani.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jateng Teguh Dwi Paryono optimistis eksplorasi tenaga panas bumi bisa dimulai pertengahan 2012 ini. Rencana itu diakui meleset dari target awal.

"Proses pemanfaatan panas bumi menjadi listrik rencana semula pada 2014, tetapi berubah menjadi tahun 2015 atau 2016 karena hingga sekarang belum ada eksplorasi," tuturnya.

Eksplorasi rencananya akan dilakukan di tiga titik, sekitar Candi Gedongsongo. Ketiga titik tersebut diperkirakan mampu menghasilkan tenaga listik 200 megawatt (MW). (B Sugiharto/Pudyo Saptono)


Buah nyamplung dinilai berpotensi besar sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Sayangnya, potensi dari buah ini belum banyak dilirik oleh masyarakat.

Kabid Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Purworejo Agro Prasetyo mengatakan, buah nyamplung dapat digunakan untuk biodiesel atau sebagai energi alternatif. Katanya, nyamplung bisa menghasilkan minyak nabati hingga 60 persen, lebih tinggi dari biji jarak.

Enam kilo buah nyamplung basah setelah diujicoba dapat menghasilkan satu liter biodiesel lewat proses kimia. Minyak nabati ini juga dapat dikonversi menjadi minyak tanah atau biokerosin dengan teknologi sederhana. Berdasarkan perhitungan, 300 ton buah nyamplung bisa menyuplai 50 ton minyak mentah setahun.

"Harga minyak dari nyamplung juga cukup bersaing di pasaran meski menggunakan harga non subsidi. Satu liter biodiesel ini disetarakan dengan solar non subsidi sekitar Rp8.500-Rp9.000 per liter.

“Harganya cukup bersaing untuk minyak non subsidi. Bahkan energi alternatif ini sangat ramah lingkungan," ujarnya di Yogyakarta, Rabu (7/3).

Sayangnya, pengolahan nyamplung sebagai BBN ini masih baru sebatas industri. Di Purworejo sendiri, produksinya masih kecil. "Kami target bisa 190-200 liter perhari,” katanya.

Ia mengatakan, semua daerah di Indonesia yang menghasilkan nyamplung sangat berpotensi melakukan pengembangan energi alternatif ini. Hanya saja, peningkatan sarana prasarana seperti penambahan mesin pemanas dan pengepres perlu diperhatikan.

Kepala Dinas Kehutanan DIY, Ahmad Dawam mengatakan, potensi nyamplung sangat strategis di tengah kenaikan harga BBM saat ini. Sayangnya, masyarakat belum banyak tahu tentang pengembangan minyak nabati ini. “Saya belum tahu persis berapa potensi buah ini di DIY,” ujarnya.


YOGYAKARTA--MICOM: Biji nyamplung sebagai bahan bakar pengganti solar sudah terbukti.

Dirjen Badan Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Hary Santoso mengungkapkan, penggunaan Nyamplung untuk biodesel sudah bisa dipastikan sejak 2008. "Sekarang tinggal sosialisasinya," ujarnya di University Club Universitas Gadjah Mada, Rabu (7/4).

Nyamplung untuk biodiesel sudah dibuktikan dengan lolos badan standarisasi nasional dan standarisasi dari Amerika (American Society for Testing and Materials). Selain biodiesel, nyamplung juga bisa digunakan untuk biocerosin.

Awal mulanya, pada 2008 nyamplung sempat digalakkan untuk bahan bakar alternatif pengganti solar karena pada saat itu harga solar makin mahal.

Untuk itu, penanamannya pohon nyamplung paling dekat berada sekitar 100 meter dari bibir pantai. Harapannya, para nelayan bisa memanfaatkannya untuk pengganti bahan bakar solar. Ahli-ahli pun ikut serta dalam mengolah biji nyamplung menjadi minyak dengan bekerja sama dengan kementerian ESDM dalam mengolah biji nyamplung menjadi minyak nyamplung. (OL-11)


PURWOREJO, suaramerdeka.com - Pengembangan biodiesel berbahan baku buah nyamplung memiliki prospek yang cukup cerah. Pasalnya, ketersediaan minyak dari bahan fosil semakin menipis, sehingga harganya terus melambung. Sedangkan persediaan nyamplung sebagai bahan dasar biodiesel sangat banyak dan dapat dibudidayakan.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Dr. Ir. Sri Puryono KS saat mendampingi DPRD Jawa Tengah saat meninjau lokasi produksi biodiesel nyamplung di Desa Patutrejo Kecamatan Grabag Purworejo. "Peluangnya sangat bagus dan layak untuk dikembangkan," katanya.

Disebutkan, luas area hutan nyamplung di wilayah Jawa Tengah saat ini mencapai 1.330 hektare. Jumlah itu masih bisa diperluas lagi dengan penambahan populasi di hutan-hutan rakyat.

Disebutkan Puryono, dari tiga wilayah percontohan biodiesel nyamplung di Indonesia, hanya di Purworejo yang masih bisa beroperasi meski diakui sempat macet karena selama tahun 2010 kemarin buah nyamplung tidak berproduksi akibat hujan sepanjang tahun.

Sementara ini, dari Desa Patutrejo itu setiap hari bisa memproduksi rata-rata 250 liter biodiesel dengan hanya menggunakan satu mesin. Harganya dijual Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per liter.

Dia menyakini jika kemampuan produksinya ditingkatkan harganya bisa mencapai Rp 7.500 per liter, jauh lebih murah dibandingkan BBM solar tanpa subsidi yang mencapai Rp 9.000 per liter.

Ditegaskan, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo sangat tertarik untuk mengembangkan solar berbahan bakar nabati ini. "Bupati Purworejo diminta membuat proposal pengembangan agar Jawa Tengah bisa memprakarsai produksi biodiesel alternatif," katanya.

Ditambahkan Puryono, biodiesel nyamplung sangat prospek dikembangkan di kampung-kampung nelayan. "Mereka bisa memproduksi sendiri di rumah. Bahkan bisa meningkatkan kesejahteraan untuk mengisi waktu-waktu luang," katanya. ( Nur Kholiq / CN33 / JBSM )