GOOGLING..!

Tampilkan postingan dengan label Bogowonto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bogowonto. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Juli 2012

Mendalami Pertanian Bogowonto Purworejo


Beras Sehat Organik Bogowonto

Sekitar 20 (dua puluh) tahun terakhir, pertanian sudah tidak lagi menjadi pilihan utama untuk mata pencaharian para penduduk indonesia. Indonesia sendiri telah dikenal sebagai negara agraris dan negara maritim, tapi kenapa masyarakat Indonesia cenderung menghindari profesi sebagai petani? Mungkin ada persepsi kasar, kotor dan mungkin juga penghasilan yang didapatkan masih jauh dari rata-rata. Itulah alasan yang sering muncul dari para masyarakat belakangan ini.
Tak kenal maka tak sayang, itulah ungkapan yang cocok untuk dunia pertanian kita yang mencapai tahap keprihatinan belakangan ini. Minggu tanggal 22 April 2012 yang bertepatan dengan Sekolah Lapang Ekosistem II, para peserta yang kebanyakan laki-laki, dihimbau untuk mengajak istri dan anaknya, dengan maksud mengenalkan pertanian sejak dini. Pertanian yang dikenalkan adalah pertanian dengan sistem SRI Organik. Dalam sistem SRI Organik, petani dituntut untuk menjadi petani yang teliti, pintar dan kreatif. Dalam kesempatan ini anak-anak pun diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, di antaranya adalah menggambar serangga yang telah ditemukan di lahan pengamatan. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini para anak-anak petani SRI Organik Purworejo bisa makin akrab, bisa mengenal pertanian sejak dini, dan bisa belajar ekosistem di lahan pertanian.
Pertanian Organik di kabupaten Purworejo sudah dimulai sejak akhir era 1990-an, dimulai dengan pertanian organik dengan cara tanam ombol atau konvensional. Baru di tahun 2003 masuklah metode tanam SRI hingga saat ini. Sejak tahun 2003 hingga sekarang, pembelajaran dan pengembangan terus dilakukan. Pada akhirnya munculah pertanyaan, "Bisakah Pertanian Organik Menyejahterakan Petaninya"? Maka pada tanggal 21 Juni 2012, petani organik se-kabupaten Purworejo berkumpul di Desa Susuk untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas.

Pada forum tersebut, munculah beberapa kesepakatan, antara lain: membentuk stuktur organisasi Perkumpulan Tani Organik Purworejo (PETA), membentuk ICS (Internal Control System), mendata petani dan penyusunan tahapan sertifikasi SRI Organik. Harapannya, semoga beberapa langkah tersebut dapat menjawab pertanyaan di atas.
Beras sehat organik Bogowonto Purworejo, sekarang sudah bisa didapatkan dalam bentuk kemasan 5 (lima) kilogram. Khusus untuk wilayah Purworejo bisa pesan untuk diambil langsung atau dikirim langsung ke rumah Anda. Untuk wilayah di luar Purworejo tergantung dari banyaknya jumlah pesanan. Informasi tentang produk ini (tersedia beras merah dan beras putih) bisa menghubungi kontak person di nomor 0856 4393 5588. Yang terpenting dari produk ini adalah mengupayakan terhindar dari pemakaian bahan-bahan kimia yang bisa membahayakan kesehatan tubuh di kemudian hari, yakni dengan penggunaan bahan-bahan alami selama proses penanaman dan pengolahan tanah lahan pertanian.

Nama Bogowonto yang dipakai sebagai 'pengenal' produk beras sehat organik asli Purworejo (dibudidayakan oleh petani SRI Organik di Purworejo) itu berasal dari nama sebuah sungai besar yang membelah dan mengalirkan 'kehidupan' di kabupaten Purworejo. Terinspirasi dari hal ini, "Kali (Bogowonto) kuwi energi peradaban, mbiyen akeh panggonan spiritual kang anjaga supayane energi kali kuwi dadi lestari. Saiki kali dadi medhan perang perebutan sumber daya."
"Kita mau mengingatkan kembali fungsi dan peran sungai bagi kebutuhan dasar peradaban pangan," demikian makna pesan yang ingin disampaikan melalui produk beras sehat organik Bogowonto ini, jelas Sable, salah satu petani SRI Organik di kabupaten Purworejo.

[desatani|sablecomm|z104]

Tulisan terkait:

Selasa, 13 Maret 2012

Referensi Pertanian Bogowonto Purworejo




Buku Bertani Padi Organik Pola Tanam SRI, meningkatkan hasil panen agar terus meningkat dan meningkat lagi. Gambar sampul buku ini adalah foto yang menunjukkan seorang ibu tani sedang menanam padi dengan pola tanam SRI (System of Rice Intensification) di desa Cijambe, kabupaten Subang. Cetakan pertamanya Januari 2010, oleh Penerbit Padi Bandung. Walaupun judulnya Bertani Padi Organik Pola Tanam SRI namun isi buku ini tidak hanya memaparkan tata cara tanam SRI saja tetapi mengupas hal lainnya yang terkait sehingga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh.
Bab 1 Beras sebagai komoditi penting dunia
Bab 2 Problematika pertanian di Indonesia
Bab 3 Tumbuhan padi dan sifat-sifatnya
Bab 4 Unsur hara, hama dan penyakit utama pada tumbuhan padi
Bab 5 Tanah sebagai unsur yang penting
Bab 6 Kompos beserta pembuatannya, dilengkapi dengan dasar-dasar pengetahuan mengenai mikroorganisme beserta teknis perbanyakannya
Bab 7 Ekosistem
Bab 8 Sistem pertanian organik termasuk sistem pertanian terintegrasi
Bab 9 Pola tanam SRI
Bab 10, 11, 12 Bab lengkap yang memuat pertanyaan umum dari komunitas pertanian tentang pertanian organik SRI
Buku Bertani dengan Akal dan Nurani juga salah satu buku alternatif dengan teknik paparan secara bercerita.


Barangkali ini adalah salah satu buku yang ditunggu-tunggu masyarakat , khususnya petani masa depan Indonesia yang saat ini memang sangat membutuhkan referensi-referensi yang rada populer. Buku termasuk salah satunya, jikalau saja di media sosial kurang merasa valid.

'Ceritanya', ada kondisi bahwasanya degradasi lahan pertanian menyebabkan ketersediaan pangan (terutama beras) cenderung semakin tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, budi daya tanaman padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI) hadir sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam praktiknya di Indonesia, metode SRI telah mendapatkan tambahan pengalaman dan penyempurnaan, yang kemudian disebut SRI Organik Indonesia. Selain berhasil meningkatkan produktivitas rata-rata padi dari 4—5 ton/ha menjadi 8—12 ton/ha, penerapan metode SRI Organik Indonesia juga cenderung bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan. Seluk-beluk metode SRI Organik Indonesia dibahas secara tuntas dalam buku ini. Mulai dari landasan teori hingga tahapan praktik di lapangan. Tidak lupa pula dijelaskan mengenai pembuatan kompos dan mikroorganisme lokal (MOL) yang merupakan inti dari metode SRI Organik Indonesia.

0920 SRI Datang Membawa Peluang
View more presentations from SRS Program, CIIFAD, Cornell University
Referensi lain berasal berupa 'e-book', seperti: Buku Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Pupuk Organik, yang diharapkan dapat dijadikan acuan untuk menyusun Juklak oleh Dinas Pertanian Provinsi dan Juknis oleh Dinas Pertanian Kabupaten/Kota yang akan digunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan kegiatan. Pedoman Teknis Pengembangan SRI TA. 2011, yang dimaksudkan untuk memberikan acuan umum bagi para petugas Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi, Kabupaten/Kota dan petugas lapangan dalam melaksanakan kegiatan Pengembangan SRI (System of Rice Intensification) yang dananya bersumber dari dana APBN TA 2011. Buku Pedoman Teknis Pengembangan Pupuk Organik Tingkat Kabupaten/Kota TA. 2012, yang dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi petugas pelaksana terkait, khususnya petugas Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan pupuk organik. Para petugas tersebut diharapkan dapat mempelajari, mencermati dan memahami pedoman teknis ini sehingga tidak akan terjadi keraguan dalam implementasi kegiatan di lapangan dan mempermudah gerak dan langkah dalam melaksanakan kegiatan yang pada akhirnya dapat dicapai kinerja yang optimal. Buletin Organis, diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI), sebuah organisasi masyarakat sipil, yang dibentuk oleh sejumlah LSM, akademisi, organisasi tani, koperasi, peneliti, dan pihak swasta yang bergerak di bidang pertanian organik dan fair trade di Indonesia. [ Sumber: SlideShare, YouTube, Deptan ] Tulisan terkait: #Integrasi #Pertanian #Bogowonto #Purworejo #Menikmati #Bogowonto #Pertanian #Purworejo #Menguliti #Pertanian #Bogowonto #Purworejo #Mengenali #Pertanian #Bogowonto #Purworejo

Minggu, 11 Maret 2012

Integrasi Pertanian Bogowonto Purworejo

Mengubah perilaku yang telah mengakar tertanam bertahun-tahun memang tak mudah. Dalam semesta pembicaraan penerapan pengelolaan lahan pertanian SRI Organik, salah satunya bahwa sulit mengubah budaya petani untuk beralih menggunakan pupuk organik. Petani beranggapan, hasil panen padi organik lebih rendah daripada tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Padahal, pertanian dengan SRI bisa meningkatkan produksi padi, hingga delapan hingga sembilan ton gabah setiap hektare. "Selama menerapkan standar operasional SRI, yakni tujuh ton pupuk organik setiap hektare sawah, maka hasilnya akan maksimal," terangnya.

Pertanian dengan SRI memanfaatkan potensi organik yang terdapat di lingkungan kelompok tani. Petani membuat pupuk organik, pupuk cair, serta pestisida secara mandiri. Petani menggunakan material organik sejak pengolahan tanah hingga panen padi. Selain kotoran sapi, petani juga bisa menggunakan potensi lain seperti dedaunan, jerami, atau sampah rumah tangga untuk membuat pupuk organik.

Berikut liputan beberapa media tentang keterintegrasian dalam SRI Organik.. :)



itoday - Kabupaten Purworejo merupakan daerah agraris, sebagai daerah penyangga beras wilayah kedua bagian selatan. Hamparan sawah yang luas, menghasilkan limbah pertanian, khususnya jerami. Tingginya limbah jerami, ternyata belum termanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Bidang Peternakan pada Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purworejo, Drs Riyanto, ketika ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Dikemukakan bahwa produksi jerami kering sekitar 281.240 ton pertahun, atau setara 319.488,64 satuan ternak (ST). Dari jumlah itu, baru termanfaatkan untuk pakan ternak sapi sebesar 5,7 % saja. Sedangkan untuk ternak lain, seperti kambing domba, kerbau 14%.

Agar lebih terintegrasi dalam pemanfaatan jerami, Pemerintah Kabupaten Purworejo mendorong petani untuk mengembangkan ternak sapi potong. Jenis yang dikembangkan sapi Peranakan Onggol (PO). Sapi jenis ini dinilai lebih mudah perawatannya, karena lebih tahan terhadap serangan penyakit, mudah adaptif dengan lingkungan.

Di samping itu, pengembangan ternak sapi potong dimaksudkan untuk memenuhi masyarakat terhadap kebutuhan protein hewani. Dari kebutuhan protein hewani 15 kg perkapita per tahun, baru tercukupi 8,4 kg perkapita per tahun (60% nya). Sementara produksi daging sapi Purworejo tahun 2009 sebesar 438.375 kg per tahun. Tahun 2010 meningkat menjadi 503.160 kg per tahun. Jumlah ternak sapi di Purworejo 2009 sebanyak 17.388 ekor. Tahun 2010 sebanyak 18.083 ekor.

Pemerintah kabupaten memeta-metakan daerah setra peternakan sapi. Untuk daerah selatan mulai dari Kecamatan Bagelen, Purwodadi, Ngombol, hingga Grabag sebagai sentra pembibitan.

Daerah tengah seperti kecamatan Banyuurip, Bayan, Purworejo dan sekitarnya sebagai sentra penggemukan. Sedangkan daerah utama (wilayah perbukitan) kendati banyak dijumpai ternak sapi, namun lebih ditekankan sebagai sentra pengembangan ternak kambing.

Untuk mengembangkan peternakan sapi, disamping swadaya oleh petani, pemerintah mendorong melalui beberapa program. Diantaranya melalui kredit ketahanan pangan dan energi (KPPE), melalui lembaga perbankan. Besarnya pinjaman maksimal Rp 500 juta untuk satu kelompok, dengan 10 anggota. Bunganya 6% per tahun. Kemitraan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), misalnya dengan PT Jamsostek dan Jasa Raharja. Besarnya pinjaman maksimal Rp 100 juta per kelompok, dengan 10 anggota. Besarnya bunga 3% per tahun.

Juga bantuan dari pemerintah pusat dan propinsi. Ia mencontohkan, untuk mendukung program Sistem Rice Intensification (SRI), pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian memberikan bantuan sapi kepada beberapa kelompok tani di Purworejo.

Kendati muaranya bantuan itu dimaksudkan untuk diambil kotorannya sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, namun juga tidak mengesampingkan upaya pengembangan ternak. Hal itu dapat dilihat dari jenis bantuannya berupa sapi betina.

Kendala yang dihadapi saat ini, menurutnya, turunnya harga sapi. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan kebijakan pemerintah, melakukan impor sapi.

“Di satu sisi kita mendorong petani untuk mengembangkan ternak sapi, namun ketika sapi akan dijual harga anjlog. Akhirnya petani kurang bergairah untuk berternak sapi. Namun karena ini kebijakan pemerintah pusat, kita tidak bisa menolak”. katanya.(Bangkit Wardoyo)


Menikmati Bogowonto Pertanian Purworejo

Beras organik bermanfaat untuk penderita pernyakit diabetes - beras organik adalah beras yang dihasilkan melalui proses organis yang ditanam di tanah yang ramah lingkungan, 100% tidak menggunakan pestisida kimia. Penanamannya menggunakan kompos dan pupuk hijauan maupun pupuk bio hayati serta pemberantasan hama menggunakan pestisida alami yang dihasilkan dari daun-daunan dan buah-buahan yang difermentasikan secara alami. Proses organis itu sendiri akan dapat memperbaiki struktur dan kesuburan tanah, serta membangun ekosistem yang berkelanjutan.

Dapat dikatakan, beras organik bebas dari unsur pestisida kimia yang oleh karenanya sangat baik dikonsumsi setiap hari. Dengan kadar gula yang sangat rendah, beras organik dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes mellitus (kencing manis), penderita autis, serta dapat dikonsumsi oleh mereka yang tengah menjalani program diet. Rasa khas beras organik yang membedakannya dengan beras non organik adalah rasa lebih pulen dan tidak mudah basi. Nasi yang diolah dari beras organik dapat bertahan selama dua hari (48 jam) tanpa perlu menyimpannya di dalam lemari pendingin.

Beras organik ada beberapa macam warna yakni: hitam, merah, coklat dan putih. Tak heran kalau masyarakat sering menyebutnya beras herbal.

Aroma dan rasa beras organik Indonesia bila sudah dimasak sangat berbeda dibanding beras organik yang berasal dari India, Thailand atau negara lainnya. Beras organik dari Indonesia mempunyai keunggulan rasa lebih enak karena struktur tanahnya. Aromanya harum dan tahan lama penyimpanannya.

Kelebihan Beras Organik dari Beras Non Organik
Keunggulan beras organik dari beras non organik adalah memiliki kandungan nutrisi dan mineral tinggi, kandungan glukosa, karbohidrat dan proteinnya mudah terurai, sehingga aman dan sangat baik dikonsumsi penderita diabetes dan baik untuk program diet, mencegah kanker, jantung, asam urat, darah tinggi dan vertigo.

Jenis dan Manfaat Beras Organik
Mungkin belum banyak yang mengetahui kalo beras organik tersedia dengan tidak hanya warna putih tapi bermacam warna. Manfaat dari beras organik bisa dibagi berdasarkan warnanya. Diharapkan setelah anda mengetahui manfaat dari beras organik berdasarkan warna, anda jadi lebih mengetahui beras warna apa yang sesuai dengan kebutuhan anda.

Manfaat Beras Organik Warna Putih
Beras organik warna putih merupakan jenis beras yang paling banyak dikonsumsi. Beras organik warna putih jika dibandingkan dengan beras putih un-organik sangatlah berbeda, karena rasanya lebih pulen dan lebih wangi. Juga tidak mengandung pestisida kimia sehingga sangat aman untuk dikonsumsi. Beras organik warna putih masih memiliki kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi.

Manfaat Beras Organik Warna Hitam
Dari sisi khasiat gizi ternyata pigmen beras yang berwarna hitam mempunyai khasiat paling baik dibanding beras organik warna lainnya. Beras organik warna hitam sangat berbeda dibanding ketan hitam, baik rasa, aroma maupun penampilannya. Sangat spesifik dan unik. Bila sudah dimasak beras organik warna hitam warnanya benar-benar hitam pekat. Rasanya enak dan aromanya menimbulkan selera makan.

Manfaat beras organik warna hitam memiliki khasiat sebagai berikut:
* Meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit
* Menurunkan kadar gula darah (baik untuk penderita diabetes)
* Memperbaiki kerusakan sel hati (hepatitis dan chirrosis)
* Mencegah gangguan fungsi ginjal
* Mencegah kanker/tumor
* Memperlambat penuaan (Antiaging)
* Sebagai Antioksi dan
* Membersihkan kolesterol dalam darah (baik untuk diet)
* Mencegah anemia
* Menurunkan tekanan darah (orang bertekanan darah rendah sebaiknya menggunakan beras ini dengan dicampur beras merah, perbandingan 1 : 1)

Manfaat Beras Organik Warna Merah

Manfaat beras organik warna merah memiliki khasiat sebagai berikut:
* Mencegah sembelit.
* Baik untuk diet.
* Mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan.
* Meningkatkan perkembangan otak.
* Menurunkan kolesterol darah.
* Mencegah kanker dan penyakit degenaratif.
* Menyehatkan jantung.
* Memiliki kandungan vitamin B1 dan mineral lebih tinggi dari pada beras putih.
* Mengandung lebih banyak magnesium, yang sangat baik untuk kesehatan kardiovaskular (jantung).
* Kaya akan fiber dan asam lemak. Kandungan fibernya yang tinggi dapat mencegah sembelit, sehingga memperlencar pencernaan. Sedangkan kandungan fiber yang tinggi juga membuat anda lebih kenyang dan tidak mudah lapar.
* Kaya akan asam amino.

Salah satu cara memasak beras merah yang diketahui adalah dengan tehnik Gamma Aminobtyric Acid (GABA) atau Germinated Brown Rice (GBR) yang dapat meningkatkan hormon pertumbuhan pada manusia.

Manfaat Beras Organik Warna Cokelat
Warnanya memang cokelat, aroma dan rasanya sangat khas, mirip ketan. beras organik warna cokelat adalah beras yang tidak digiling atau setengah digiling, jadi bisa dikatakan mempunyai rasa sedikit seperti kacang dan lebih kenyal daripada beras putih. Meskipun lebih cepat basi, tetapi beras organik warna cokelat lebih bernutrisi.

Perbedaan beras organik warna cokelat dan beras putih sebenarnya tidak terlalu jauh. Perbedaan keduanya terletak pada pemrosesan dan kandungan nutrisinya. Jika lapisan terluar atau kulit ari atau sekam dari biji padi dikupas maka hasilnya adalah beras organik warna cokelat. Namun jika lapisan dalam atau kulit padi juga dikupas, maka hasilnya adalah beras putih biasa.

Beberapa jenis vitamin dan mineral akan hilang dalam proses penggilingan butir padi. Akibatnya, beberapa nutrisi yang hilang seperti vitamin B1, B3, dan besi seringkali ditambahkan kembali pada beras putih sehingga berlabel “diperkaya” (enriched). Sementara pada beras organik warna cokelat, satu jenis mineral yang tidak perlu ditambahkan adalah magnesium.

Cara Memasak Beras Organik
1. Bilas sekali saja (tergantung kebiasaan), 3 gelas beras organik kemudian masukkan ke dalam wadah penanak nasi.
2. Masukan 4,5 gelas air ke dalam wadah penanak nasi, jika ingin lebih pulen tambahkan air kemudian masukkan ke dalam wadah penanak nasi.
3. Selama proses memasak jangan membuka dan mengaduk beras sehingga aroma beras tetap terjaga.
4. Setelah matang, Nasi siap dihidangkan untuk disantap. Lebih Nikmat dalam keadaan panas.

Kelebihan dan Manfaat Beras Organik dengan Beras Biasa
Kelebihan dan manfaat beras organik dengan beras biasa untuk kesehatan - Perkataan 'organik' sebenarnya bermaksud 'berasal dari tanah'. Singkatnya, membawa arti 'asli', alami, tidak tercemar dan lain-lain', yaitu sifat-sifat produk pertanian yang dapat digunakan setiap hari. Beberapa contoh produk organik termasuk sayur-sayuran, vitamin, pasta gigi, sabun, sabun cuci dan lain sebagainya.
Bapak teori organik, Dr. Henry Chang, menyatakan bahwa "makanan organik" berarti seluruh produk pertanian yang bebas dari pupuk kimia, bahan kimia atau bahan tambahan sejak permulaan, yaitu seluruhnya alami.

Lalu apa kelebihan dari padi organik jika dibandingkan dengan beras dari padi yang bukan organik?
Manfaat Padi Organik
* Bekerja membersihkan darah.
* Membuang racun yang menumpuk dalam sel.
* Membantu regenerasi sel-sel baru.
* Menjaga keseimbangan kadar asam basa tanpa obat-obatan, vitamin atau pun suplemen tambahan.

Kelebihan-Kelebihan Padi Organik
* Memiliki kandungan gizi yang lebih baik. Makanan organik rata-rata mempunyai kandungan vitamin C, mineral, serta phytonutrients (bahan dalam tanaman yang dapat melawan kanker) yang lebih tinggi ketimbang bahan pangan konvensional.
* Makanan organik lebih tahan lama hingga tidak mudah basi.
* Menghemat proses produksi dan mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.

Bahaya makanan non organik
a. Efek unsur dan pestisida yang terkandung dalam makanan:
* Menyebabkan gangguan kesadaran (cognitive dysfunction) seperti sulit mengeja, membaca, menulis, membedakan warna, termasuk berbicara.
* Memperbesar risiko terhadap gangguan fisik otak.
* Salah satu penyebab kanker payudara.
* Berpotensi menyebabkan masalah pada produksi sperma.

b. Ancaman pestisida bagi manusia.
* Mengancam generasi penerus. Anak-anak berpotensi terkena lebih banyak pestisida daripada orang dewasa.
* Pencemaran air tanah.
* Boros energi, banyak energi yang dibutuhkan untuk memproduksi pupuk kimia daripada untuk mengolah dan memanen tanaman.

Sumber: 1

Tulisan terkait:
#Peristiwa #Pertanian #Rangkuman #September
#Mendalami #Pertanian #Bogowonto #Purworejo
#Referensi #Pertanian #Bogowonto #Purworejo
#Integrasi #Pertanian #Bogowonto #Purworejo
#Menikmati #Bogowonto #Pertanian #Purworejo
#Menguliti #Pertanian #Bogowonto #Purworejo
#Mengenali #Pertanian #Bogowonto #Purworejo



Menguliti Pertanian Bogowonto Purworejo

Ringgit adalah desa di kecamatan Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia. Dalam semesta pembicaraan tentang praktik pengelolaan lahan pertanian System of Rice Intensification (SRI) Organik, nama harum Ringgit ini bakal tetap semerbak. Banyak aktivitas penting berawal di sini. Banyak pengaruh kemajuan dan energi positif tetap berkesinambungan dari sini.

Desa Ringgit adalah salah satu dari 57 desa lumbung padi di kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Luas areal sawah di desa ini adalah 80 ha, 10 ha tahun 2009 dikelola dengan SRI Organik. SRI Organik diperkenalkan di desa ini tahun 2003 lewat Pembelajaran Ekologi Tanah. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi pembelajaran petani untuk mengetahui peranan kompos bagi pembangunan sifat fisik, sifat biologi dan sifat biologi tanah. Sedang pertanian organik sudah diperkenalkan di desa ini sejak tahun 1997, Pembelajaran Ekologi Tanah dan SRI Organik ini memperbaiki pemahaman maupun praktik pertanian organik yang sudah dilakukan oleh beberapa petani di desa Ringgit. Saat ini, Juni 2009, jumlah ternak sapi yang dipelihara oleh petani di desa Ringgit ada 40 ekor. Varietas padi yang banyak diusahakan dengan SRI Organik di desa ini adalah : Sintanur, Menthik Wangi, Jasmine, Padi Merah Lokal.

Kabupaten Purworejo, tampaknya merupakan salah satu 'produsen' beras yang cukup vital, menjadi bagian penting penyangga produksi beras di Jawa Tengah khususnya. Sejalan dengan upaya pemulihan kualitas lahan pertanian melalui intensifikasi sistem pertanian, maka produk beras organik menjadi salah satu produk unggulan masa depan. Mari kita ikuti tulisan-tulisan yang sempat kami himpun dari beberapa media tentang 'aktivitas terdalam' pertanian di 'seputar aliran' kali Bogowonto ini.. :)


Selama tahun 2010, petani di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo mengembangkan padi dengan System of Rice Intensification (SRI) organik pada lahan seluas 200 hektare. Untuk melancarkan program tersebut, pemerintah pusat memberikan bantuan Rp 3,09 miliar untuk kelompok tani (kelomtan).

Setiap kelompok tani mendapat bantuan Rp 309 juta dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20 hektare. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos , pembelian 30 ekor sapi, kendaraan roda tiga, alat pembuat pupuk organik (APPO), serta sekolah lapang.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purworejo juga memberikan bantuan stimulan berupa peralatan pendukung pembuatan pupuk organik dan pembangunan kandang sapi berkapasitas delapan ekor. Selain itu, kelomtan juga mendapat bantuan pompa air dari Dana Alokasi Khusus (DAK).

Selain bantuan dari pemerintah, masyarakat juga melakukan swadaya dalam memenuhi kekurangan kapasitas kandang sapi. "Kandang sapi yang dibuat pemerintah hanya untuk delapan ekor, kekurangannya dibangun oleh petani secara swadaya," ungkapnya.

Bantuan tersebut diberikan kepada sepuluh kelompok tani (kelomtan) yang menjalankan program SRI. Kelompok tersebut terdapat di Desa Ringgit (2 kelomtan), Wasiat (2), Kaliwungu (2), Ngombol (1), Tunjungan (1), Rasukan (1), dan Candi (1). "Kami sudah buat komitmen dengan petani di sepuluh kelompok tersebut. Mulai 2010, petani menyatakan sanggup melaksanakan pertanian organik dengan metode SRI," ungkap Abdul Malik, Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Purworejo, kepada KRjogja.com, Rabu (15/12).

Pertanian dengan SRI memanfaatkan potensi organik yang terdapat di lingkungan kelompok tani. Petani membuat pupuk organik, pupuk cair, serta pestisida secara mandiri. Petani menggunakan material organik sejak pengolahan tanah hingga panen padi. Selain kotoran sapi, petani juga bisa menggunakan potensi lain seperti dedaunan, jerami, atau sampah rumah tangga untuk membuat pupuk organik.

Menurutnya, sulitnya mengubah budaya petani untuk beralih menggunakan pupuk organik, menjadi kendala penerapan SRI. Petani beranggapan, hasil panen padi organik lebih rendah daripada tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Padahal, pertanian dengan SRI bisa meningkatkan produksi padi, hingga delapan hingga sembilan ton gabah setiap hektare. "Selama menerapkan standar operasional SRI, yakni tujuh ton pupuk organik setiap hektare sawah, maka hasilnya akan maksimal," terangnya.


PURWOREJO - Senyum sumringah tampak memancar dari wajah Slamet Supriyadi (44) warga Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, saat ia memanen padi organik varietas Sinta Nur di lahan percobaan miliknya, Senin (25/2). Di lahan 800 m2 miliknya, ia melakukan percobaan menanam padi dengan jarak yang berbeda-beda.

Saat memperlakukan tanaman padinya, ia tanpa menggunakan pupuk kimia maupun obat pestisida, namun hanya menggunakan pupuk kandang dan limbah sampah yang ada di lingkungannya.Hasilnya, padinya lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya.Bila dirata-rata, hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.

Hasil ini lebih tinggi dari ratarata padi di Kabupaten Purworejo yang hanya mencapai 6,4 ton per hektar. Apabila dijual pun lumayan, karena untuk padi organik biasanya mencapai Rp 7.000 per kg, sedang untuk padi biasa hanya mencapai Rp 4.500 per kg.

Menurut penuturan Slamet, ia sebenarnya sudah menanam dengan cara organik sejak 1998.Namun waktu itu masih dengan sistem coba-coba. Untuk percobaan kali ini ia menggunakan System Rice of Intensivication (SRI).

Langkah pertama pengolahan lahan dengan memberi pupuk bahan organik sebanyak 2,5 ton. Satu batang padi anakan berusia sembilan hari ditanam dengan jarak berbeda, ada yang 50×50 cm, 40×40 cm, 30×30 cm, dan 25×25 cm. Setelah 25 hari tanam, diberi pupuk abu dapur sebanyak enam karung. Barulah setelah 27 hari tanam, diberi pupuk ayam sebanyak dua bagor.

Karena lahan milik Slamet merupakan sawah tadah hujan, maka untuk pengairannya dua hari sekali dengan sistem pompa.Hingga padi siap panen, Slamet hanya membutuhkan delapan kali memompa, karena air yang dibutuhkan juga sedikit.

Manfaatkan limbah
Dari data yang ada, semakin pendek jarak tanam semakin banyak menghasilkan rumpun padi karena untuk jarak 50×50 cm jumlah rumpun padi mencapai 25 rumpun, 40×40 cm ada 49 rumpun, 30×30 cm ada 72 rumpun, dan 25×25 cm ada 121 rumpun.

Sedang jumlah anakan produktif, untuk jarak 50×50 cm menghasilkan 56 anakan, 40×40 cm ada 40 anakan, 30×30 cm ada 25 anakan, dan25×25 cm ada 25 anakan.

Hasilnya pun juga lebih banyak dari jaak penananam yang lebih pendek. Untuk jarak 50×50 cm dapat menghasilkan 11,44 ton/ha, 40×40 cm menghasilan 11,84 ton/ha, 30×30 cm mengha-silkan 10,26 ton/ha, dan 25×25 cm menghasilkan 12,29 ton/ha.

“Saya berusaha memanfaatkan pupuk yang ada di sekitar lingkungan rumah, seperti memanfaatkan abu dapur, kotoran ayam dan sapi, sampah-sampah selain kertas dan plastik, dan limbah dapur. Sampah-sampah tersebut dikomposkan dulu, baru setelah siap digunakan sebagai pupuk, ” ujar Slamet.

Menurut Slamet, ia membutuhkan enam kuintal pupuk organik. Di bandingkan dengan pupuk nonorganik, sebenarnya ia hanya membutuhkan tujuh ton.Sedang untuk biaya pengolahan hampir sama yakni Rp 500 ribu.Namun keuntungannya tenaga pengerjaannya bisa dikerjakan dengan sambil lalu.

Ketua DPRD Purworejo Angko Setiyarso Widodo menyambut baik langkah Slamet dalam menanam padi organik. Langkah Slamet bisa dijadikan pilot project penanaman padi organik di wilayah Purworejo.

“Petugas PPL dan Dinas Pertanian bisa membuat perencanaan yang matang. Untuk hasil produksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang turut membantu pemasarannya. Kita harus membantu petani baik sebelum penanaman, saat tanam, dan pascapanen.Tujuannya adalah untuk menyejahterakan petani,” ujar Angko. [Dulrokhim/ad]

Untuk meningkatkan produksi gabah, para petani harus mengintensifkan pola pertanian SRI (System of Rice Intensification) . Karena SRI sudah terbukti mampu menyumbang produksi gabah yang cukup signifikan. Di Kecamatan Ngombol saja sudah bisa menghasilkan gabah 8,7 ton perhektar.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Perluasan dan Pengolahan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI Ir Tunggul Imam Panuju, M.Sc., dalam lokakarya petani pelaku SRI organik dan peresmian rumah kompos ternak sapi program CF-SKR tahun anggaran 2010 di desa Ngombol, Sabtu (19/2). Acara tersebut juga dihadiri Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, para kepala SKPD, kelompok tani serta perwakilan organisasi tani se Kabupaten Purworejo. Pada acara itu para pelaku SRI organik mempresentasikan pola tanam dan menyampaikan hasil yang di peroleh.

Tunggul menjelaskan, secara nasional sudah ada sekitar 110.000 hektar lahan yang ditanami dengan sistim SRI, termasuk di kecamatan Ngombol. Rencananya akan terus ditingkatkan, paling tidak menjadi 500.000 hektar.

Lebih lanjut Tunggul mengharapkan, pelaksanaan SRI organik oleh para petani tidak sekedar untuk mendapatakan bantuan saja, tapi dilakukan secara konsisten. ”Kementrian pertanian sangat berharap SRI organik ini akan menjadi budaya baru yang di terapkan petani di Kabupaten Purworejo,” katanya.


Purworejo, CyberNews. Pemerintah pusat menargetkan produksi gabah secara nasional pada tahun 2011 ini mampu mencapai 70,6 juta ton. Target itu sudah diinstruksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kementerian Pertanian diminta untuk mengawal secara ketat supaya target tersebut bisa tercapai.

Hal itu diungkapkan Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Ditjen Prasarana dan Sara Pertanian Kementerian Pertanian RI Ir Tunggul Iman Panuju MSc di sela-sela acara lokakarya petani pelaku SRI organik dan peresmian rumah kompos ternak sapi program CF-SKR tahun anggaran 2010 di Desa/Kecamatan Ngombol, Purworejo, Sabtu (19/2) kemarin.

Acara yang juga dihadiri Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg dan satker terkait itu diikuti anggota kelompok tani serta perwakilan organisasi tani di Kabupaten Purworejo. Dalam kesempatan itu, petani pelaku SRI organik sekaligus mempresentasikan pola SRI organik serta membagi pengalaman serta hasil yang diperoleh.

Tunggul menjelaskan, untuk meningkatkan produksi gabah tersebut, salah satunya dengan mengintensifkan pola pertanian SRI (System of Rice Intensification). "SRI ini sudah terbukti mampu menyumbang produksi gabah yang cukup signifikan. Makanya akan terus kita dorong petani menerapkan sistem SRI," katanya.

Lebih lanjut disebutkan, secara nasional sudah ada sekitar 110.000 hektare lahan yang ditanami dengan sistem SRI, termasuk di Kecamatan Ngombol, Purworejo. Rencananya akan terus dikembangkan, paling tidak menjadi 500.000 hektare.

Tunggul berharap, pelaksanaan SRI organik oleh para petani tidak sekedar untuk mendapatkan bantuan saja. Tapi dilakukan secara konsisten. "Kementerian Pertanian sangat berharap SRI organik ini akan menjadi budaya baru yang diterapkan petani di Kabupaten Purworejo," katanya.

Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg mengungkapkan, produksi padi para petani di Kecamatan Ngombol yang sudah menerapkan SRI organik rata-rata mencapai 8,7 ton per hektare. "Kami berharap Kementerian Pertanian tetap men-support supaya produktivitas ini masih bisa terus ditingkatkan," katanya.

Mahsun juga berharap, SRI organik tidak hanya diterapkan di wilayah Kecamatan Ngombol. Tapi, secara perlahan mulai diterapkan seluruh petani di Kabupaten Purworejo. "Pertanian organik ini ramah lingkungan dan sehat karena tidak mengandung bahan kimia atau terkontaminasi pestisida," tuturnya.


Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.

Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

Dampak positif dari Revolusi Hijau yakni produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Sedangkan dampak negatifnya, yakni:

1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus-menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten.


Alokasi pupuk Kabupaten Purworejo tahun 2011 mengalami penurunan. Hal ini dipicu turunnya serapan pupuk petani karena cuaca dan juga meningkatnya minat petani dalam menggunakan budidaya SRI Organik. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Purworejo Ir Dri Sumarno melalu staf ahli bidang Sarana dan Prasarana Edi Supriyono SP MM mengungkapkan, alokasi pupuk 2011 Kabupaten Purworejo telah ditetapkan melalui Pergub No 521.3/03604 tertanggal 21 Maret 2011.
Dikatakan Edi, alokasi pupuk untuk Kabupaten Purworejo Tahun 2011 totalnya 22.472 ton. Jumlah itu mengalami penurunan jika dibanding tahun 2010 yang alokasinya mencapai 28.000 ton.
"Selain pupuk urea, jenis pupuk lainnya yang mengalami penurunan alokasi yakni pupuk SP 36 dari 4180 ton - 4000 ton, pupuk ZA dari 3695 ton - 2850 ton," katanya, Rabu (6/4) kemarin.
Dijselaskan, kuota itu berdasarkan usulan yang sudah dikirimkan sebelumnya, yakni 24.580 ton urea, 7035 ton SP36, 5573 ton ZA, 10.725 ton NPK dan 7110 ton organik. "Jumlah itu nantinya akan disesuaikan dengan kondisi dilapangan, jika nantinya masih ada kekurangan kami akan mengusulkan kembali berapa kekurangannya," imbuhnya.
Disinggung apa penyebab penurunan alokasi pupuk 2011, Edi menegaskan, faktor yang cukup dominan dan menonjol yakni data serapan pupuk tahun 2010. Selain faktor cuaca, penggunaan pupuk kimia oleh petani kini mulai menurun seiring program SRI Organik yang mulai teraplikasi.
"Hitungan kasarnya saja luas sawah yang sudah menerapkan SRI Organik sudah ada sekitar 600 hektare. Tahun 2011, pengembangan SRI Organik juga diberlakukan 200 hektare sawah plus bantuan pengembangan dari pemerintah. Kedepan Purworejo kan juga sedang menuju kabupaten Organik," ujarnya.
Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Purworejo, Eko Anang SW menambahkan, petani yang sudah mulai membudidayakan padi organik, secara otomatis akan menurunkan ketergantungannya terhadap pupuk kimia.
"Jika sebelumnya petani sudah biasa menggunakan pupuk 300 - 400 kilogram untuk sekali pemupukan. Petani semi organik saja kini sudah mulai menurunkan jumlah pemupukan hingga separohnya. Harga pupuk yang naik dari Rp 60 ribu - Rp 80 ribu per zak juga cukup mempengaruhi serapan pupuk bagi petani," ucapnya.
Pantauan Radar Jogja di Gudang Pupuk PT Pusri Batoh, Kecamatan Banyuurip menunjukkan kini tempat itu masih menyimpan sekitar 141, 5 ton pupuk. Jumlah itu, cukup minim, turunnya volume gudang pupuk PT Pusri itu lantaran keterlambatan kedatangan pupuk dari Cilacap dan naiknya serapan pupuk petani. (tom)

Sumber: PurworejoKabGoId, SuaraMerdeka, Wikipedia

Mengenali Pertanian Bogowonto Purworejo

Kabupaten Purworejo, tampaknya merupakan salah satu 'produsen' beras yang cukup vital, menjadi bagian penting penyangga produksi beras di Jawa Tengah khususnya. Sejalan dengan upaya pemulihan kualitas lahan pertanian melalui intensifikasi sistem pertanian, maka produk beras organik menjadi salah satu produk unggulan masa depan. Mari kita ikuti tulisan-tulisan yang sempat kami himpun dari beberapa media tentang aktivitas pertanian di 'seputar aliran' kali Bogowonto ini.. :)


Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg sangat mendukung upaya pengembangan pertanian organik di Kabupaten Purworejo. Sehingga ia meminta kepada Camat Ngombol agar memfasilitasi petani dari kecamatan lain yang akan menimba ilmu pada petani Ngombol, yang telah banyak menerapkan pertanian organik dengan SRI (Sistem Rice Intensification).
“Kalau memang nantinya kesulitan pemasaran, kita akan mulai dari diri sendiri, dengan menghimbau para PNS untuk mengkonsumsi beras organik,”ujarnya ketika memberi pengarahan pada rapat pimpinan di ruang Arahiwang, Jum’at (17/6).

Upaya Kabupaten Purworejo untuk menuju pertanian organik (go organic), tampaknya memang tidak bertepuk sebelah tangan. Hal ini terbukti dari banyaknya paguyuban (kelompok) di Kabupaten Purworejo, yang memproduksi pupuk organik. Baik dengan alat pengolah pupuk organic (APPO), maupun yang langsung dibawa ke sawah tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Dari data Dinas Pertanian dan Kehutanan, saat ini setidaknya ada 32 kelompok pembuat pupuk organik, yang tersebar hampir di semua kecamatan. Di samping itu, ada 14 rumah kompos (unit pengolah pupuk organik) yang dikelola kelompok tani, serta tiga perusahaan produsen pupuk organik.
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Ir Dri Soemarno di tempat terpisah mengungkapkan bahwa dari 32 unit APPO, masing-masing bisa memproduksi rata-rata 4 ton pupuk organik setiap bulannya, atau 1.536 ton pertahun. Sementara dari 14 rumah kompos, masing-masing mampu memproduksi 8 ton pupuk organik perbulan atau 1.248 ton.

Sedangkan untuk produksi dari perusahaan maupun kelompok, pihaknya belum memiliki data, karena laporannya belum bisa lancar. Kesulitan data ini juga terkait dengan dialihkannya petugas penyuluh lapangan (PPL) ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP), sehingga Dinas Pertanian dan Kehutanan kekurangan personil yang bisa secara rutin turun langsung berhubungan dengan kelompok tani.

Lebih lanjut ia mengakui, untuk menuju Purworejo sebagai kabupaten organik memang cukup berat. Sebab, selain merubah perilaku petani yang cenderung instan, ketersediaan pupuk organik masih sangat jauh dari kebutuhan yang ada.

“Luas sawah di Kabupaten Purworejo mencapai 30.626,97 hektar. Jika dua kali musim tanam diasumsikan 50 ribu hektar dan rata-rata membutuhkan 7 ton pupuk organik perhektar, maka kebutuhan 350 ribu ton pupuk organik pertahun,”ungkapnya.


Bupati Purworejo Drs. H. Mahsun Zain, MAg mengungkapkan, peningkatan produksi padi terus dilakukan dengan berbagai jenis program, mulai dari revolusi hijau hingga pengolahan secara terpadu dan berimbang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras di dalam negeri. Untuk mencapai hal itu, penggunaan bahan-bahan sintesis berupa pupuk dan pestisida juga terus dilakukan dalam jumlah yang semakin meningkat.

“Namun akhir-akhir ini produksivitas padi sulit ditingkatkan bahkan cenderung menurun, di sisi lain gangguan organisme pengganggu tanaman cenderung meningkat di samping bencana banjir di saat musim hujan dan kering pada musim kemarau,” katanya, Rabu (2/3).

Di sisi lain lanjut Mahsun Zein, penurunan produksi padi sangat dimungkinkan karena petani sedang beralih dari pupuk kimia ke pupuk organik. “Mereka yang langsung memberlakukan sistem organik murni tentu saja hasil produksinya menurun, karena kita sudah berpuluh-puluh tahun menggunakan pupuk kimia,” katanya.

Penggunaan pupuk kimia telah merusak struktur tanah sehingga kesuburan juga berkurang. “Untuk membenahi struktur tanah mau tidak mau harus kembali pada pupuk organik,” katanya.

Dengan penggunaan pupuk organik ini, lambat laun lahan akan subur kembali. “Kita memang menganjurkan petani beralih ke pupuk organik. Nanti lambat laun setelah lahan subur kembali, produksi padi akan meningkat dan penggunaan pupuk akan berkurang karena pupuk organik dapat menyuburkan lahan hingga beberapa kali tanam,” jelasnya.

Anjuran penggunaan pupuk ini lanjut Mahsun Zain, sekaligus sebagai program Purworejo yang akan menuju kabupaten organik.



Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.


Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.


Dampak positif dari Revolusi Hijau yakni produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Sedangkan dampak negatifnya, yakni:

1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus-menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten.

Sumber: PurworejoKabGoId, Wikipedia

Rabu, 20 Januari 2010

Kali Pogo Banjir


Sungai Bogowonto, kerap kali disebut dengan Kali Pogo oleh beberapa warga Popongan. Kecuali menyingkat jumlah suku kata, juga dirasa lebih mudah diucapkan. Seperti musim-musim penghujan sebelumnya, minggu-minggu ini dengan curah hujan lumayan rapat seringnya, makin mengingatkan atas adanya banjir. Sederhana saja, meluapnya air sungai dikuatirkan akan menimpa banyak tanaman di tepi sungai (tegalan), atau pada beberapa dataran yang relatif lebih rendah bisa terendap air. Oleh karenanya, kewaspadaan perlu ditingkatkan. Ini juga berlaku untuk area-area rawan bencana lain.
Di Kali Pogo ini, sejak lama juga banyak dihasilkan batuan dan pasir untuk banyak bangunan. Moda angkutannya berupa truk, dengan alat bantu alat berat semacam beghu yang pada umumnya bercat kuning. Hilir mudik lalu lintasnya dulu juga melalui kawasan Pecinan, Jokima, seperti tulisan terdahulu.

[djnn/z104]