GOOGLING..!

Minggu, 11 Maret 2012

Menguliti Pertanian Bogowonto Purworejo

Ringgit adalah desa di kecamatan Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia. Dalam semesta pembicaraan tentang praktik pengelolaan lahan pertanian System of Rice Intensification (SRI) Organik, nama harum Ringgit ini bakal tetap semerbak. Banyak aktivitas penting berawal di sini. Banyak pengaruh kemajuan dan energi positif tetap berkesinambungan dari sini.

Desa Ringgit adalah salah satu dari 57 desa lumbung padi di kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Luas areal sawah di desa ini adalah 80 ha, 10 ha tahun 2009 dikelola dengan SRI Organik. SRI Organik diperkenalkan di desa ini tahun 2003 lewat Pembelajaran Ekologi Tanah. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi pembelajaran petani untuk mengetahui peranan kompos bagi pembangunan sifat fisik, sifat biologi dan sifat biologi tanah. Sedang pertanian organik sudah diperkenalkan di desa ini sejak tahun 1997, Pembelajaran Ekologi Tanah dan SRI Organik ini memperbaiki pemahaman maupun praktik pertanian organik yang sudah dilakukan oleh beberapa petani di desa Ringgit. Saat ini, Juni 2009, jumlah ternak sapi yang dipelihara oleh petani di desa Ringgit ada 40 ekor. Varietas padi yang banyak diusahakan dengan SRI Organik di desa ini adalah : Sintanur, Menthik Wangi, Jasmine, Padi Merah Lokal.

Kabupaten Purworejo, tampaknya merupakan salah satu 'produsen' beras yang cukup vital, menjadi bagian penting penyangga produksi beras di Jawa Tengah khususnya. Sejalan dengan upaya pemulihan kualitas lahan pertanian melalui intensifikasi sistem pertanian, maka produk beras organik menjadi salah satu produk unggulan masa depan. Mari kita ikuti tulisan-tulisan yang sempat kami himpun dari beberapa media tentang 'aktivitas terdalam' pertanian di 'seputar aliran' kali Bogowonto ini.. :)


Selama tahun 2010, petani di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo mengembangkan padi dengan System of Rice Intensification (SRI) organik pada lahan seluas 200 hektare. Untuk melancarkan program tersebut, pemerintah pusat memberikan bantuan Rp 3,09 miliar untuk kelompok tani (kelomtan).

Setiap kelompok tani mendapat bantuan Rp 309 juta dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20 hektare. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos , pembelian 30 ekor sapi, kendaraan roda tiga, alat pembuat pupuk organik (APPO), serta sekolah lapang.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purworejo juga memberikan bantuan stimulan berupa peralatan pendukung pembuatan pupuk organik dan pembangunan kandang sapi berkapasitas delapan ekor. Selain itu, kelomtan juga mendapat bantuan pompa air dari Dana Alokasi Khusus (DAK).

Selain bantuan dari pemerintah, masyarakat juga melakukan swadaya dalam memenuhi kekurangan kapasitas kandang sapi. "Kandang sapi yang dibuat pemerintah hanya untuk delapan ekor, kekurangannya dibangun oleh petani secara swadaya," ungkapnya.

Bantuan tersebut diberikan kepada sepuluh kelompok tani (kelomtan) yang menjalankan program SRI. Kelompok tersebut terdapat di Desa Ringgit (2 kelomtan), Wasiat (2), Kaliwungu (2), Ngombol (1), Tunjungan (1), Rasukan (1), dan Candi (1). "Kami sudah buat komitmen dengan petani di sepuluh kelompok tersebut. Mulai 2010, petani menyatakan sanggup melaksanakan pertanian organik dengan metode SRI," ungkap Abdul Malik, Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Purworejo, kepada KRjogja.com, Rabu (15/12).

Pertanian dengan SRI memanfaatkan potensi organik yang terdapat di lingkungan kelompok tani. Petani membuat pupuk organik, pupuk cair, serta pestisida secara mandiri. Petani menggunakan material organik sejak pengolahan tanah hingga panen padi. Selain kotoran sapi, petani juga bisa menggunakan potensi lain seperti dedaunan, jerami, atau sampah rumah tangga untuk membuat pupuk organik.

Menurutnya, sulitnya mengubah budaya petani untuk beralih menggunakan pupuk organik, menjadi kendala penerapan SRI. Petani beranggapan, hasil panen padi organik lebih rendah daripada tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Padahal, pertanian dengan SRI bisa meningkatkan produksi padi, hingga delapan hingga sembilan ton gabah setiap hektare. "Selama menerapkan standar operasional SRI, yakni tujuh ton pupuk organik setiap hektare sawah, maka hasilnya akan maksimal," terangnya.


PURWOREJO - Senyum sumringah tampak memancar dari wajah Slamet Supriyadi (44) warga Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, saat ia memanen padi organik varietas Sinta Nur di lahan percobaan miliknya, Senin (25/2). Di lahan 800 m2 miliknya, ia melakukan percobaan menanam padi dengan jarak yang berbeda-beda.

Saat memperlakukan tanaman padinya, ia tanpa menggunakan pupuk kimia maupun obat pestisida, namun hanya menggunakan pupuk kandang dan limbah sampah yang ada di lingkungannya.Hasilnya, padinya lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya.Bila dirata-rata, hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.

Hasil ini lebih tinggi dari ratarata padi di Kabupaten Purworejo yang hanya mencapai 6,4 ton per hektar. Apabila dijual pun lumayan, karena untuk padi organik biasanya mencapai Rp 7.000 per kg, sedang untuk padi biasa hanya mencapai Rp 4.500 per kg.

Menurut penuturan Slamet, ia sebenarnya sudah menanam dengan cara organik sejak 1998.Namun waktu itu masih dengan sistem coba-coba. Untuk percobaan kali ini ia menggunakan System Rice of Intensivication (SRI).

Langkah pertama pengolahan lahan dengan memberi pupuk bahan organik sebanyak 2,5 ton. Satu batang padi anakan berusia sembilan hari ditanam dengan jarak berbeda, ada yang 50×50 cm, 40×40 cm, 30×30 cm, dan 25×25 cm. Setelah 25 hari tanam, diberi pupuk abu dapur sebanyak enam karung. Barulah setelah 27 hari tanam, diberi pupuk ayam sebanyak dua bagor.

Karena lahan milik Slamet merupakan sawah tadah hujan, maka untuk pengairannya dua hari sekali dengan sistem pompa.Hingga padi siap panen, Slamet hanya membutuhkan delapan kali memompa, karena air yang dibutuhkan juga sedikit.

Manfaatkan limbah
Dari data yang ada, semakin pendek jarak tanam semakin banyak menghasilkan rumpun padi karena untuk jarak 50×50 cm jumlah rumpun padi mencapai 25 rumpun, 40×40 cm ada 49 rumpun, 30×30 cm ada 72 rumpun, dan 25×25 cm ada 121 rumpun.

Sedang jumlah anakan produktif, untuk jarak 50×50 cm menghasilkan 56 anakan, 40×40 cm ada 40 anakan, 30×30 cm ada 25 anakan, dan25×25 cm ada 25 anakan.

Hasilnya pun juga lebih banyak dari jaak penananam yang lebih pendek. Untuk jarak 50×50 cm dapat menghasilkan 11,44 ton/ha, 40×40 cm menghasilan 11,84 ton/ha, 30×30 cm mengha-silkan 10,26 ton/ha, dan 25×25 cm menghasilkan 12,29 ton/ha.

“Saya berusaha memanfaatkan pupuk yang ada di sekitar lingkungan rumah, seperti memanfaatkan abu dapur, kotoran ayam dan sapi, sampah-sampah selain kertas dan plastik, dan limbah dapur. Sampah-sampah tersebut dikomposkan dulu, baru setelah siap digunakan sebagai pupuk, ” ujar Slamet.

Menurut Slamet, ia membutuhkan enam kuintal pupuk organik. Di bandingkan dengan pupuk nonorganik, sebenarnya ia hanya membutuhkan tujuh ton.Sedang untuk biaya pengolahan hampir sama yakni Rp 500 ribu.Namun keuntungannya tenaga pengerjaannya bisa dikerjakan dengan sambil lalu.

Ketua DPRD Purworejo Angko Setiyarso Widodo menyambut baik langkah Slamet dalam menanam padi organik. Langkah Slamet bisa dijadikan pilot project penanaman padi organik di wilayah Purworejo.

“Petugas PPL dan Dinas Pertanian bisa membuat perencanaan yang matang. Untuk hasil produksi Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang turut membantu pemasarannya. Kita harus membantu petani baik sebelum penanaman, saat tanam, dan pascapanen.Tujuannya adalah untuk menyejahterakan petani,” ujar Angko. [Dulrokhim/ad]

Untuk meningkatkan produksi gabah, para petani harus mengintensifkan pola pertanian SRI (System of Rice Intensification) . Karena SRI sudah terbukti mampu menyumbang produksi gabah yang cukup signifikan. Di Kecamatan Ngombol saja sudah bisa menghasilkan gabah 8,7 ton perhektar.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Perluasan dan Pengolahan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian RI Ir Tunggul Imam Panuju, M.Sc., dalam lokakarya petani pelaku SRI organik dan peresmian rumah kompos ternak sapi program CF-SKR tahun anggaran 2010 di desa Ngombol, Sabtu (19/2). Acara tersebut juga dihadiri Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, para kepala SKPD, kelompok tani serta perwakilan organisasi tani se Kabupaten Purworejo. Pada acara itu para pelaku SRI organik mempresentasikan pola tanam dan menyampaikan hasil yang di peroleh.

Tunggul menjelaskan, secara nasional sudah ada sekitar 110.000 hektar lahan yang ditanami dengan sistim SRI, termasuk di kecamatan Ngombol. Rencananya akan terus ditingkatkan, paling tidak menjadi 500.000 hektar.

Lebih lanjut Tunggul mengharapkan, pelaksanaan SRI organik oleh para petani tidak sekedar untuk mendapatakan bantuan saja, tapi dilakukan secara konsisten. ”Kementrian pertanian sangat berharap SRI organik ini akan menjadi budaya baru yang di terapkan petani di Kabupaten Purworejo,” katanya.


Purworejo, CyberNews. Pemerintah pusat menargetkan produksi gabah secara nasional pada tahun 2011 ini mampu mencapai 70,6 juta ton. Target itu sudah diinstruksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kementerian Pertanian diminta untuk mengawal secara ketat supaya target tersebut bisa tercapai.

Hal itu diungkapkan Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Ditjen Prasarana dan Sara Pertanian Kementerian Pertanian RI Ir Tunggul Iman Panuju MSc di sela-sela acara lokakarya petani pelaku SRI organik dan peresmian rumah kompos ternak sapi program CF-SKR tahun anggaran 2010 di Desa/Kecamatan Ngombol, Purworejo, Sabtu (19/2) kemarin.

Acara yang juga dihadiri Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg dan satker terkait itu diikuti anggota kelompok tani serta perwakilan organisasi tani di Kabupaten Purworejo. Dalam kesempatan itu, petani pelaku SRI organik sekaligus mempresentasikan pola SRI organik serta membagi pengalaman serta hasil yang diperoleh.

Tunggul menjelaskan, untuk meningkatkan produksi gabah tersebut, salah satunya dengan mengintensifkan pola pertanian SRI (System of Rice Intensification). "SRI ini sudah terbukti mampu menyumbang produksi gabah yang cukup signifikan. Makanya akan terus kita dorong petani menerapkan sistem SRI," katanya.

Lebih lanjut disebutkan, secara nasional sudah ada sekitar 110.000 hektare lahan yang ditanami dengan sistem SRI, termasuk di Kecamatan Ngombol, Purworejo. Rencananya akan terus dikembangkan, paling tidak menjadi 500.000 hektare.

Tunggul berharap, pelaksanaan SRI organik oleh para petani tidak sekedar untuk mendapatkan bantuan saja. Tapi dilakukan secara konsisten. "Kementerian Pertanian sangat berharap SRI organik ini akan menjadi budaya baru yang diterapkan petani di Kabupaten Purworejo," katanya.

Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg mengungkapkan, produksi padi para petani di Kecamatan Ngombol yang sudah menerapkan SRI organik rata-rata mencapai 8,7 ton per hektare. "Kami berharap Kementerian Pertanian tetap men-support supaya produktivitas ini masih bisa terus ditingkatkan," katanya.

Mahsun juga berharap, SRI organik tidak hanya diterapkan di wilayah Kecamatan Ngombol. Tapi, secara perlahan mulai diterapkan seluruh petani di Kabupaten Purworejo. "Pertanian organik ini ramah lingkungan dan sehat karena tidak mengandung bahan kimia atau terkontaminasi pestisida," tuturnya.


Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.

Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

Dampak positif dari Revolusi Hijau yakni produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Sedangkan dampak negatifnya, yakni:

1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus-menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten.


Alokasi pupuk Kabupaten Purworejo tahun 2011 mengalami penurunan. Hal ini dipicu turunnya serapan pupuk petani karena cuaca dan juga meningkatnya minat petani dalam menggunakan budidaya SRI Organik. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Purworejo Ir Dri Sumarno melalu staf ahli bidang Sarana dan Prasarana Edi Supriyono SP MM mengungkapkan, alokasi pupuk 2011 Kabupaten Purworejo telah ditetapkan melalui Pergub No 521.3/03604 tertanggal 21 Maret 2011.
Dikatakan Edi, alokasi pupuk untuk Kabupaten Purworejo Tahun 2011 totalnya 22.472 ton. Jumlah itu mengalami penurunan jika dibanding tahun 2010 yang alokasinya mencapai 28.000 ton.
"Selain pupuk urea, jenis pupuk lainnya yang mengalami penurunan alokasi yakni pupuk SP 36 dari 4180 ton - 4000 ton, pupuk ZA dari 3695 ton - 2850 ton," katanya, Rabu (6/4) kemarin.
Dijselaskan, kuota itu berdasarkan usulan yang sudah dikirimkan sebelumnya, yakni 24.580 ton urea, 7035 ton SP36, 5573 ton ZA, 10.725 ton NPK dan 7110 ton organik. "Jumlah itu nantinya akan disesuaikan dengan kondisi dilapangan, jika nantinya masih ada kekurangan kami akan mengusulkan kembali berapa kekurangannya," imbuhnya.
Disinggung apa penyebab penurunan alokasi pupuk 2011, Edi menegaskan, faktor yang cukup dominan dan menonjol yakni data serapan pupuk tahun 2010. Selain faktor cuaca, penggunaan pupuk kimia oleh petani kini mulai menurun seiring program SRI Organik yang mulai teraplikasi.
"Hitungan kasarnya saja luas sawah yang sudah menerapkan SRI Organik sudah ada sekitar 600 hektare. Tahun 2011, pengembangan SRI Organik juga diberlakukan 200 hektare sawah plus bantuan pengembangan dari pemerintah. Kedepan Purworejo kan juga sedang menuju kabupaten Organik," ujarnya.
Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Purworejo, Eko Anang SW menambahkan, petani yang sudah mulai membudidayakan padi organik, secara otomatis akan menurunkan ketergantungannya terhadap pupuk kimia.
"Jika sebelumnya petani sudah biasa menggunakan pupuk 300 - 400 kilogram untuk sekali pemupukan. Petani semi organik saja kini sudah mulai menurunkan jumlah pemupukan hingga separohnya. Harga pupuk yang naik dari Rp 60 ribu - Rp 80 ribu per zak juga cukup mempengaruhi serapan pupuk bagi petani," ucapnya.
Pantauan Radar Jogja di Gudang Pupuk PT Pusri Batoh, Kecamatan Banyuurip menunjukkan kini tempat itu masih menyimpan sekitar 141, 5 ton pupuk. Jumlah itu, cukup minim, turunnya volume gudang pupuk PT Pusri itu lantaran keterlambatan kedatangan pupuk dari Cilacap dan naiknya serapan pupuk petani. (tom)

Sumber: PurworejoKabGoId, SuaraMerdeka, Wikipedia