GOOGLING..!

Minggu, 11 Maret 2012

Mengenali Pertanian Bogowonto Purworejo

Kabupaten Purworejo, tampaknya merupakan salah satu 'produsen' beras yang cukup vital, menjadi bagian penting penyangga produksi beras di Jawa Tengah khususnya. Sejalan dengan upaya pemulihan kualitas lahan pertanian melalui intensifikasi sistem pertanian, maka produk beras organik menjadi salah satu produk unggulan masa depan. Mari kita ikuti tulisan-tulisan yang sempat kami himpun dari beberapa media tentang aktivitas pertanian di 'seputar aliran' kali Bogowonto ini.. :)


Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg sangat mendukung upaya pengembangan pertanian organik di Kabupaten Purworejo. Sehingga ia meminta kepada Camat Ngombol agar memfasilitasi petani dari kecamatan lain yang akan menimba ilmu pada petani Ngombol, yang telah banyak menerapkan pertanian organik dengan SRI (Sistem Rice Intensification).
“Kalau memang nantinya kesulitan pemasaran, kita akan mulai dari diri sendiri, dengan menghimbau para PNS untuk mengkonsumsi beras organik,”ujarnya ketika memberi pengarahan pada rapat pimpinan di ruang Arahiwang, Jum’at (17/6).

Upaya Kabupaten Purworejo untuk menuju pertanian organik (go organic), tampaknya memang tidak bertepuk sebelah tangan. Hal ini terbukti dari banyaknya paguyuban (kelompok) di Kabupaten Purworejo, yang memproduksi pupuk organik. Baik dengan alat pengolah pupuk organic (APPO), maupun yang langsung dibawa ke sawah tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Dari data Dinas Pertanian dan Kehutanan, saat ini setidaknya ada 32 kelompok pembuat pupuk organik, yang tersebar hampir di semua kecamatan. Di samping itu, ada 14 rumah kompos (unit pengolah pupuk organik) yang dikelola kelompok tani, serta tiga perusahaan produsen pupuk organik.
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Ir Dri Soemarno di tempat terpisah mengungkapkan bahwa dari 32 unit APPO, masing-masing bisa memproduksi rata-rata 4 ton pupuk organik setiap bulannya, atau 1.536 ton pertahun. Sementara dari 14 rumah kompos, masing-masing mampu memproduksi 8 ton pupuk organik perbulan atau 1.248 ton.

Sedangkan untuk produksi dari perusahaan maupun kelompok, pihaknya belum memiliki data, karena laporannya belum bisa lancar. Kesulitan data ini juga terkait dengan dialihkannya petugas penyuluh lapangan (PPL) ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP), sehingga Dinas Pertanian dan Kehutanan kekurangan personil yang bisa secara rutin turun langsung berhubungan dengan kelompok tani.

Lebih lanjut ia mengakui, untuk menuju Purworejo sebagai kabupaten organik memang cukup berat. Sebab, selain merubah perilaku petani yang cenderung instan, ketersediaan pupuk organik masih sangat jauh dari kebutuhan yang ada.

“Luas sawah di Kabupaten Purworejo mencapai 30.626,97 hektar. Jika dua kali musim tanam diasumsikan 50 ribu hektar dan rata-rata membutuhkan 7 ton pupuk organik perhektar, maka kebutuhan 350 ribu ton pupuk organik pertahun,”ungkapnya.


Bupati Purworejo Drs. H. Mahsun Zain, MAg mengungkapkan, peningkatan produksi padi terus dilakukan dengan berbagai jenis program, mulai dari revolusi hijau hingga pengolahan secara terpadu dan berimbang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras di dalam negeri. Untuk mencapai hal itu, penggunaan bahan-bahan sintesis berupa pupuk dan pestisida juga terus dilakukan dalam jumlah yang semakin meningkat.

“Namun akhir-akhir ini produksivitas padi sulit ditingkatkan bahkan cenderung menurun, di sisi lain gangguan organisme pengganggu tanaman cenderung meningkat di samping bencana banjir di saat musim hujan dan kering pada musim kemarau,” katanya, Rabu (2/3).

Di sisi lain lanjut Mahsun Zein, penurunan produksi padi sangat dimungkinkan karena petani sedang beralih dari pupuk kimia ke pupuk organik. “Mereka yang langsung memberlakukan sistem organik murni tentu saja hasil produksinya menurun, karena kita sudah berpuluh-puluh tahun menggunakan pupuk kimia,” katanya.

Penggunaan pupuk kimia telah merusak struktur tanah sehingga kesuburan juga berkurang. “Untuk membenahi struktur tanah mau tidak mau harus kembali pada pupuk organik,” katanya.

Dengan penggunaan pupuk organik ini, lambat laun lahan akan subur kembali. “Kita memang menganjurkan petani beralih ke pupuk organik. Nanti lambat laun setelah lahan subur kembali, produksi padi akan meningkat dan penggunaan pupuk akan berkurang karena pupuk organik dapat menyuburkan lahan hingga beberapa kali tanam,” jelasnya.

Anjuran penggunaan pupuk ini lanjut Mahsun Zain, sekaligus sebagai program Purworejo yang akan menuju kabupaten organik.



Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.


Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.


Dampak positif dari Revolusi Hijau yakni produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Sedangkan dampak negatifnya, yakni:

1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
2. Penurunan keanekaragaman hayati.
3. Penggunaan pupuk terus-menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten.

Sumber: PurworejoKabGoId, Wikipedia